Thursday, July 07, 2005

London yang Tertawa, London yang Menangis

Belum genap 24 jam, tawa itu berubah tangis. London yang Rabu kemarin bersuka cita karena ditetapkan sebagai tuan rumah Olimpiade 2012, Kamis ini, berduka. Enam ledakan bom mungguncang London, memakan nyawa (sementara) 37 orang dan melukai 700 lainnya. Ucapan belasungkawa datang dari mana-mana: dari Amerika, Perancis dan juga Indonesia. Gaung ledakan ini menyisakan ketidakmengertian besar, kegelisahan besar, rasa terancam yang besar.

Dunia kini terasa menjadi semakin tidak aman. Tempat manakah gerangan yang selamat dari ledakan bom yang mematikan ini?. Sejak serangan 11 September 2001 di New York itu, rentetan pemboman silih berganti mengahantam kota demi kota, negara demi negara: Istanbul, Madrid, Casablanca, Riyad, Bali, Jakarta dan (kini) London. Dalam intensitas yang lebih tinggi, Irak dan Palestina adalah cerita kematian dari hari ke hari karena pemboman, penculikan dan serangan bersenjata. Apakah harga nyawa manusia kini semakin murah?

Ketika yang berbicara adalah kesombongan dan dendam kesumat, peperangan dan kematian rupanya tinggal menunggu giliran. Dan inilah dia lakon dunia kita kini; kesombongan negara-negara besar yang bertubrukan dengan dendam kesumat kelompok-kelompok yang dipinggirkan secara kejam. Lihatlah bagaimana Israel dengan pongahnya menduduki tanah Palestina, membangun tembok rasis, mengincar kematian tokoh-tokoh Hamas dan tidak segan-segan menghancur rumah-rumah dengan tank-tank kekarnya karena alasan klise memburu pejuang Palestina. Lihatlah bagaimana Amerika dan sekutunya mengerahkan kekuatan militer besar menyerang Irak dengan alasan memburu senjata pemusnah massal yang sampai hari ini tidak ditemukannya. Berapa nyawa warga sipil Irak yang melayang demi melayani nafsu perang ini? Apakah nyawa orang Irak lebih rendah harganya ketimbang nyawa orang Amerika?

Sementara badan dunia yang bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, menderita cacat sejak kelahirannya. Ia adalah warisan perang dunia kedua yang melanggengkan hegemoni negara-negara pemenang perang. Apa yang disebut hak veto itu adalah instrumen yang melanggengkan ketidakadilan. Lima negara besar pemilik hak veto yang empat diantaranya jumlah penduduknya tidak melebihi penduduk India dapat menganulir keputusan yang disepakati oleh seluruh dunia, betapapun adilnya. Khalis Jalabi, penulis artikel ternama di koran berbahasa Arab, as-Syarq al-Awsath (SA), menyebut bahwa selama sejarah penggunaan hak veto di PBB, yang paling menderita dengan penggunaan hak ini adalah dunia arab. (SA, edisi 9688, 7 Juni 2005).

Ketidakadilan berdimensi politik ini paralel dengan ketimpangan di dunia ekonomi dan kesadaran yang terluka di dunia kebudayaan. Negara-negara kaya (diantaranya yang baru saja bersidang di KTT G8) di hadapan negara-negara miskin tidak ubahnya tuan di era pra feodalisme di hadapan budak-budaknya. Hutang berbunga yang mereka berikan menjadi beban yang terus semakin berat dalam pikulan negara-negara miskin itu. Badan-badan keuangan dunia, tak pelak, lebih membela kepentingan negara-negara pemberi hutang ketimbang negara-negara penghutang. Pil pahit resep IMF yang ditelan Indonesia selama krisis sejak 1998 adalah bukti terdekat yang tak terbantah.

Sementara di ranah kebudayaan ada kesadaran dengan luka menganga yang ditinggalkan oleh laju globalisasi dengan episode utama bertema konsumerisme. Setiap hari kita dibombardir oleh iklan-iklan: mobil baru, hand phone baru, komputer baru, baju baru, kaca mata baru, celana dalam baru. Masyarakat dijejali mimpi tentang hidup yang penuh kemewahan (sebagaimana tema banyak sinetron di Indonesia) di tengah kenyataan keseharian yang dibelit dengan kesusahan dan penderitaan: BBM langka, gizi buruk, sekolah sulit dan seterusnya. Ada luka yang ditinggalkannya. Setiap hari ini menghempaskan milyaran penduduk bumi ke pinggir sejarah dengan hidup keseharian yang mengenaskan. Ia menciptakan barisan orang 'sakit hati' yang terus bertambah.

Apa jadinya kemudian?. Arus balik. Alam bawah sadar 'orang-orang kalah' ini seolah memanggil-manggil, "kalau mereka bisa menimpakan penderitaan kepada kita, kenapa kita tidak bisa berbuat yang sama kepada mereka?". Ideologi kemudian datang mematangkan bahan mentah ini, meciptakan alam imajinernya, menguatkan jaringannya, mengidentifikasi siapa lawan siapa kawan, mengajari bagaimana membikin bom dan seterusnya. Segalanya kemudian menjadi wajar. Kematian justru dirindukan. Ketika api bertemu api, yang menjadi korban tidak hanya yang mengobarkannya, tetapi juga orang-orang di sekelilingnya.

Kelihatannya, lakon ini dalam tahun-tahun ke depan ini belum akan usai. Negara-negara besar: Amerika, Inggris, Perancis, Spanyol dan lain-lain, semakin meneguhkan tekad untuk memerangi 'makhluk halus' yang mereka sebut dengan terorisme. Bisa dipastikan sebagai akibatnya, ledakan demi ledakan bom belum akan selesai juga. Segera setelah ledakan-ledakan di London, pihak keamanan Perancis memperketat penjagaan di stasiun-stasiun kereta api, begitu juga di Amerika. Logika awam mengatakan, kalau sekarang ledakan terjadi di London, boleh jadi besok terjadi di Paris atau di tempat lain. Berapa air mata lagi yang harus tumpah dari lingkaran setan yang tidak habisnya ini?.

No comments: