Thursday, June 22, 2006

Arabic Contemporary Thinkers (1) : Dr. Thaha Abdurrahman


If you have an interest in arabic-islamic thought, I recommend you to visit this site or follow it every monday at 16.30 GMT in aljazeera tv channel in the program called 'masaaraat'. You'll find that it is interesting to see the contemporary Arabic-Islamic Thinkers talk about their thoughts and intelectual projects. Dr. Thaha Abdurrahman, lecturer of logic and linguistic in Mohamed V University in Rabat, is one of them.


Dr. Thaha is named as one of the most creative thinkers in the field of Arabic-Islamic comtemporary thought. His prime intelectual project is the construction of Islamic solution to the problems of this age. His good mastery on logic and linguistic allows him to create some new concepts based on Arabic-Islamic heritage. He proposes, for example, the concepts like 'at-tarjamah at-ta'shiliyah' (the creative translation of greek or modern european philosophy to Arabic), 'al-falsafah al-hiwariyah' (dialogue philosophy), 'al-hadatsah al-islamiyah' (Islamic modernity)etc.

He wrote some books in order to give deep explanation about these concepts, such as 'su'al al-akhlaq', 'al-haq al-islami fi al-ikhtilaf al-fikri', 'ruh al-hadatsah', etc. Unfortunately, all of his books are still in Arabic languange. It will be better if these books were translated into english so they could be accessed by more people.

Wednesday, June 21, 2006

ICIS II: Merubah Elit Sebelum Merubah Massa

APAKAH artinya pertemuan para intelektual muslim di tengah dunia Islam yang sedang bergolak di hadapan kita?.

Irak masih diduduki Amerika dan sekutunya. Faksi Hamas dan Fatah bertikai di Palestina. Somalia masih jadi arena perang saudara. Ketegangan Siria dan Lebanon pasca kematian Rafiq al-Hariri belum juga reda. Uni Emirat Arab dan Iran masih berebut daerah sengketa. Maroko dan Aljazair masih berebut pengaruh di Sahara. Afganistan masih jadi ladang pertempuran pasukan Taliban dan tentara Amerika.

Mauritania jatuh bangun dengan kudeta. Saudi Arabia, Jordania dan Maroko masih di bawah kekuasaan para raja. Mesir masih memberlakukan hukum gawat darurat di bawah kekuasaan Presiden Husni Mubarak yang perkasa. Sudan belum lagi sembuh dari luka perang saudara. Qatar well come saja jadi pangkalan Amerika di perang teluk ketiga yang merontokkan rezim Saddam Hussein yang kini masih dipenjara.


Memang Abu Mus’ab az-Zarqawi sudah tiada. “Patah satu tumbuh seribu”, kata pribahasa. Selama ketidakadilan masih ada, mereka akan terus bekerja dengan ideologi yang kuat bagai baja. Jangan heran jika besok lusa, berita kematin dan kehancuran yang mengerikan masih mengoyak rasa kemanusiaan kita. Osama Benladen dan Aiman az-Zawahiri boleh timbul tenggelam di layar kaca, namun anak-anak muda yang terkena racun ideologinya siap jadi martir hidup kapan saja dan di mana saja, ---sebagaimana yang sudah pernah ada-- dari Inggris hingga Amerika, dari Jakarta hingga Casablanca.

Laporan UNDP tahun 2002, rata-rata pertumbahan perkapita di negeri-negeri Arab hanya 1 % per tahun sepanjang 20 tahun sebelumnya. Dua dari lima orang Arab, hidup per hari hanya dengan kurang dari 2 dolar Amerika. 15 % kekuatan kerja di negeri-negeri Arab tidak bekerja dan pada tahun 2010 diperkirakan berlipat dua. Hanya ada 1 % penduduk yang memiliki komputer pribadi dan hanya setengah persen yang tersambung di jagat maya. Separuh dari perempuan Arab tidak bisa membaca.

Kalau ke Sudan kita mengarahkan mata, ada Darfur yang menjadi arena tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Konflik, kelaparan dan orang-orang yang tinggal di pengungsian menjadi pemandangan sehari-hari di sana. Laporan PBB menyebutkan, dalam rentang 1994-2003, ada 13 juta orang mati karena konflik, 12 juta-nya ada di kawasan Asia Barat, Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika. ¾ dari 37 juta pengungsi juga berada di kawasan ini, berkelindan dengan angka kelaparan yang naik tangga.

Bagaimana dengan negeri kita?. Kabar baik berhembus bersama reformasi, Mei 1998, yang didesakkan massa dan mahasiswa. Momentum ini membawa perubahan mendasar berupa: demokrasi dengan pemilihan langsung, amandemen UUD 1945 dan desentralisasi kekuasaan ke pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II. Namun, 26 Desember 2004, tsunami menghantam Aceh dan Nias, meminta korban hampir 200 ribu jiwa dan kerja rekonstruksi yang luar biasa. Luka masih menganga ditinggalkan oleh Jogja yang dihantam gempa.

Atas alasan inilah, katanya, pemerintah berhutang lagi untuk kesekian kalinya. Hutang yang menambah beban yang harus dibayar oleh anak cucu bangsa. Sementara pengangguran sudah mencapai angka 40 juta jiwa. Flu burung masih juga mengancam jiwa dan sedang diusahakan solusi tuntasnya. Anak-anak kurang gizi masih ada dan pernah ramai jadi berita. Pemaksaan kehendak dengan kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu mengancam integrasi bangsa.

DALAM kondisi dunia Islam macam inilah, para intelektual dari 57 negara berbasis muslim berkumpul di Jakarta. Banyak yang diharapkan dari mereka. Setidaknya, kalau elit berubah, massa pasti mengikutinya. Revolusi di tingkat elit, akan sangat menentukan revolusi di tingkat massa.

Tetapi bagaimana itu bisa?. Bagaimana ilustrasinya?. Mohamed Arkoun, Profesor di Universitas Sorbon Perancis, menuntut intlektual Islam untuk membuka diri dan menguasai produk terbaru di dunia ilmu-ilmu humaniora. Hanya dengan begitu, peradaban Islam akan kembali ke peran kesejarahannya. Arkoun mengambil inspirasi dari para intelektual abad ke-4 H semisal Abu Hayyan at-Tauhidi dan Ibnu Maskawaih yang lengkap, terbuka, menyerap segala produk peradaban di zamannya dan memberi kontribusi dunia Islam bagi kemajuan dunia manusia. Arkoun meminta intelektual Islam mengadopsi peran Maskawaih di zamannya dalam konteks zaman kita. Dalam hal ini, Arkoun mencoba mengambil peran pelopor dengan karya-karyanya yang dalam, multi perangkat metodologis dan menggebrak imaginasi kolektif umat yang menurutnya sudah kadung ideologis, berwatak keras dan tidak terbuka.

Dalam semangat mencari jawaban Islam terhadap kebuntuan zaman kita, Dr. Abu Ya’rab al-Marzuqi, intelektual Tunisia, menemukannya pada Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun setelah menemukan titik terang pada al-Gazali, tokoh intelektual Islam abad V. Al-Marzuqi menemukan persamaan “Ihya’ Ulumuddin”-nya al-Gazali sama dengan “Ihya al-Hadlarah al-Islamiyah” karena pada masa itu, filsafat sejarah Plato dan filsafat ilmu alam Aristoteles telah menyebabkan kematian ilmu agama yang berarti kematian manusia. Karena manusia –versi Plato dan Aristoteles—digerakkan oleh sejarah dan hukum alam (hukum kausalitas), bukan sebaliknya.

Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun, menurut Abu Ya’rab al-Marzuqi, membalik kesimpulan Plato dan Aristoteles (yang diafirmasi oleh intelektual Islam semacam: Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, As-Suhrawardi dan Ibnu Rusyd) untuk mengembalikan posisi manusia sebagai penggerak (fa’il) sejarah yang merdeka, bukan obyek (maf’ul) sejarah. Menggerakkan reformasi di dunia Islam saat ini, menurut al-Marzuqi, harus dilandaskan pada dua poros pemikiran ini: 1. terbebas dari metafisika jabariyah yang memandang manusia sebagai entitas yang digerakkan oleh kekuatan luar yang tak tertolak; 2. terbebas dari sikap tidak bertanggung jawab yang diakibatkan oleh pandangan bahwa nilai-nilai bukan ditimbulkan oleh kerja manusia yang muncul dari pergulatan kekuatan di masyarakat tetapi dari Tuhan yang segalanya serba jadi tanpa keterlibatan perjuangan dan kreasi manusia. Poros pertama memerdekakan manusia secara teologis, menjadikannya sebagai entitas yang berkehendak dan bertanggung jawab ; dan yang kedua memerdekakan manusia secara sosial-politis dari otoritarianisme masyarakat dan negara.

Dr. Thaha Abdurrahman, pemikir Maroko, melangkah lebih jauh. Dalam buku terbarunya, “Ruh al-Hadatsah; al-Madkhal ila Ta’sis al-Hadatsah al-Islmiyah” (2006), ia mengajukan konsep yang disebutnya dengan modernitas Islam. Konsep ini dialamatkannya kepada dua kelompok sekaligus; 1. para intelektual yang hanya mencukupkan diri dengan tradisi (turastiyyun) untuk mengajukan kepada mereka cakrawala baru, dan, 2. para intelektual modernis (hadatsiyyun) yang hanya menjadi pengikut setia modernitas barat untuk memberi mereka alternatif dari kenyataan modernitas barat yang penuh kritik.

Dr. Thaha membedakan antara “ruh modernitas” dan “kenyataan (penerapan) modernitas”. Menurutnya, modernitas barat saat ini adalah salah satu bentuk penerapan ruh modernitas yang dimungkinkan. Artinya, sangat mungkin menerapkan ruh modernitas ini di dunia Islam dalam perangkat dan bentuk yang lebih mencerminkan ruh tersebut. Tiga prinsip modernitas: prinsip kritik (mabda’ an-naqd), prinsip kearifan (mabda’ ar-rusyd) dan prinsip totalitas (mabda’ as-syumul) yang merupakan ruh modernitas dibebernya dalam bahasa dan konsep-konsep yang sepenuhnya diturunkannya dari sumber dan warisan pemikiran Islam. Pertaruhannya kemudian adalah bagaimana memperjuangkan kondisi dunia Islam yang diisi oleh perpaduan kebangkrutan intern dan luberan eksternal (modernitas barat) beranjak menuju aplikasi konsep yang dikreasinya. Setidaknya, Dr. Thaha sudah memberikan track konsepnya.

Dalam konteks perjuangan menghadapi kondisi dunia Islam yang amat berat inilah, Mohamed Abed al-Jabiri menganjurkan jalan keluar yang disebutnya “kaukus sejarah” (at-takattul at-tarikhi) dunia Arab-Islam. Kaukus ini meniscayakan umat Islam berada di satu barisan dengan garis kebijakan sosial-politik-peradaban yang dirumuskan bersama. Al-Jabiri melihat bahwa tantangan dunia Islam jauh lebih besar dari sekedar dihadapi dengan solusi-solusi sektoral. Inilah saatnya umat Islam bersatu dalam satu lingkaran untuk bergerak bangkit bersama. Solusi ini, menurut al-Jabiri, bisa mengembalikan umat Islam kembali menjadi pemain sejarah, tidak seperti kini, ketika dunia Islam menjadi obyek pertarungan (dalam apa yang disebutnya sebagai tata ulang peta dunia oleh Amerika), bukan pihak yang aktif bermain dalam pertarungan tersebut.

APAKAH peran kesejarahan ini hendak dimulai dari Jakarta melalui forum ICIS?. Melihat tren demokrasi yang mulai bersemi, kebebasan bertanggung jawab yang mulai nyata dan semangat menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, ICIS ----dengan PBNU sebagai markasnya-- bisa menjadi tonggak sejarah untuk memulai perubahan serius (kalau bukan revolusi) di dunia Islam. Asal semangatnya besar dan tujuannya jelas, ICIS bisa melakukannya. Perjuangan memang tidak pernah mengenal kata henti, bahkan mungkin baru bermula!.

Wednesday, June 14, 2006

Berkaca Dari Sepak Bola


Milyaran pasang mata, dalam sebulan ini, tertuju ke Jerman. Apa lagi, kalau bukan untuk mengikuti perhelatan empat tahunan paling menyihir: piala dunia sepak bola.

Sepak bola, di awal abad ke-21 ini, memang menjadi penyihir paling berhasil. Betapa tidak, semua unsur kepenyihiran ada disitu: uang, hiburan, kemahiran individual, gengsi, kerja kolektif, manajemen profesional, keberuntungan. Semuanya memikat. Semuanya luar biasa.

Sepak bola telah menyihir anak-anak muda dua puluhan tahun itu menjadi orang-orang kaya baru dunia. Ronaldinho, Michael Owen, Wayne Rooney adalah pesepak bola dengan kekayaan puluhan juta dolar Amerika. David Beckham, Ljunberg, telah menjadi ikon pencetak uang di dunia iklan karena bola. FIFA bakal setidaknya meraup US$1,9 milyar, hanya dari pergelaran di Jerman yang sedang berlangsung kini. Para pemain Chelsea berjudi ratusan ribu Pounsterling di satu arena balapan kuda. Roman Abramovich, orang kaya minyak Rusia itu, membeli Chelsea dan sekarang memiliki kekayaan 10 Milyar Poundsterling. Penerbangan Emirates membangun stadion Arsenal dengan US$ 700 Juta dengan perkiraan pendapatan US$ 60 juta per tahun. Pemerintah Jerman mensubsidi lebih dari US$ 1.5 milyar untuk membangun dan memperbaiki stadion yang digunakan pada piala dunia kali ini.

Iya, uang kini memang setali tiga uang dengan dunia hiburan. Sepak bola telah menjadi hiburan yang memanjakan mata milyaran orang. Lihatlah, bagaimamana Ronaldinho meliuk-liuk membawa bola bak penari samba. Lionel Messi bak penyihir cilik membawa hati berjumpalitan ketika menerobos ruang sempit pertahanan lawan. Wayne Rooney seperti roket mengejar umpan terbosan, siap menggetarkan jala lawan kapan saja. Thierry Henry dengan dingin mengecoh barisan bertahan menembus dan menembakkan bola dari sudut-sudut sempit. Masing-masing punya rasa, menjadi hiburan yang sangat menyegarkan. Orang bisa merogoh kocek ratusan euro setiap minggu demi sepak bola, demi hiburan.

Anak-anak muda hebat itu memang telah meraih segalanya; sehat, kuat, kaya, terkenal, cerdas, bersemangat dan terhormat. Tetapi apakah mereka mendapatkan itu semua secara gratis?. Tidak. Mereka bekerja keras. Semua bekerja keras: pemain, pelatih, tim teknis, manajer, direktur. Hukum peradaban bekerja disini: siapa bekerja lebih keras, ia mendapat lebih banyak. Kerja keras yang digabung dengan modal yang cukup, manajemen yang profesional, kolektifitas yang tertata rapi dan dukungan massa yang tak habis-habisnya telah melahirkan sepak bola yang kuat, indah dan memikat.

Dua tahun belakangan, kita melihat contoh kondisi ini : Chelsea di Inggris dan Barcelona di Spanyol. Masing-masing meraih gelar juara liga dua tahun berturut-turut. Barcelona, tahun ini, menambahnya dengan gelar Liga Champion. Masing-masing memperagakan sepak bola indah dengan kerjasama yang tertata bagus. Masing-masing memunclkan ikon-ikon baru di dunia sepak bola. Di Chelsea, ada Abramovich (pemodal), Jose Mourinho (pelatih) dan pemain-pemain bagus (Crespo, Drogba, Lampard, Robben, dll --wajah-wajah yang sekarang bisa kita lihat di piala dunia di tim nasional masing-masing--). Di Barcelona, ada Joan Laporta (presiden), Frank Richard dan pemain-pemain 'ciamik' (Ronaldinho, Samuel Eto'o, Henrik Larsson, Deco, Van Bomel, Lionel Messi, dst --wajah-wajah (kecuali Eto'o) yang kelihatannya bakal dominan di piala dunia ini--).

Mereka semua bisa terus bertambah cerdas karena rotasi hidup mereka yang dinamis di dunia kosmopolit. Ketika mereka bermigrasi karena bola dari negara asalnya, setidaknya mereka potensial menguasai dua bahasa, dua budaya, dua cara hidup. Ini terus bertambah ketika mereka berpindah dari klub ke klub, negara ke negara. Ditambah pula dengan pergaulan kosmopolit mereka sesama insan bola yang datang dari berbagai negara dan kebangsaan. Juninho, pemain Lyon asal Brazil dengan tendangan roket itu, begitu fasih berbahasa Perancis. Samuel Eto'o berbicara Perancis dan Spanyol. Didier Drogba, Perancis-Inggris. Ronaldo, Portugal-Italia-Spanyol. Joseph S. Blatter sendiri, Presiden FIFA, berbicara lancar dalam lima bahasa: Jerman, Inggris, Perancis, Spanyol dan Italia.

Lebih dari itu, ada gengsi dan citra bangsa di sepak bola. Masih ingat dengan 'gelar kebangsawanan' David Beckam di klub-nya Real Madrid selepas menerima penghargaan langsung dari Ratu Inggris, 27/11/2003 lalu?. Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula Da Silva, (10/6), berkirim surat khusus ke Ronaldo, meminta maaf atas komentarnya soal bobot lebih Ronaldo yang diberitakan miring oleh media dan menggangu persiapan Ronaldo menghadapi piala dunia. Ratu dan pemimpin negara merasa perlu memberi penghargaan khusus kepada pahlawan sepak bola-nya karena mereka membela gengsi dan citra bangsa. Siapa yang tidak bangga ketika bendera negaranya dikibarkan dan lagu kebangsaannya dikumandangkan di tengah sorot mata milyaran manusia?. Siapa yang sekarang tidak kenal negara bernama Togo, Pantai Gading, Trinidad-Tobago setelah tim sepak bola-nya bisa lolos ke piala dunia?.

Kenyataan ini tidak bisa diabaikan oleh siapapun, apalagi oleh penyelenggara negara. Itulah sebabnya, Presiden Iran, Ahmadi Nejad, merasa perlu turun ke lapangan ketika anak-anak negerinya bersiap ke piala dunia, berencana menyaksikan langsung perjuangan mereka di Jerman dan menitipkan semangat membela habis-habisan nama bangsa dan negara di lapangan hijau. Perdana Menteri Inggris, Tony Blair berjanji akan ikut tarian robot gaya Peter Crouch kalau tim kesebelasan negaranya berhasil merebut gelar piala dunia.

Sepak Bola, terbukti memang bisa menjadi lem perekat kohesi kebangsaan. Di dunia Arab pernah muncul pameo, "Arab hanya bisa disatukan oleh dua hal: Umi Kulsum, penyanyi legendaris Mesir, dan Sepak Bola". Meskipun di dunia politik, negara-negara Arab banyak 'berantem', tapi kalau ada kesebalasan negara Arab yang lolos ke even sepak bola internasional, mereka akan bersatu mendukungnya.


Bagaimana dengan Indonesia?

Ketika kampanye lalu, Presiden SBY bersemboyan, "bersama kita bisa". Apakah tuan Presiden masing ingat semboyan ini ketika sekarang nonton bareng piala dunia di Istana?. Iya, sepak bola, menjasadkan semboyan ini dengan sepenuh makna kata.

Tidak ada yang jauh kalau kita bersama dan bekerja keras. Kita pasti bisa. Siapa yang awalnya menduga Togo, Pantai Gading atau Trinidad-Tobago bisa masuk piala dunia?. Tidak mustahil, kalau kita bersama dan bekerja keras, kesebelasan Indonesia bisa masuk piala dunia juga nantinya: tiga atau empat kali lagi piala dunia. Asal jelas targetnya, konsisten, didukung negara dan disemaikan dari bibit-bibit unggul yang dilatih profesional. Tidak ada keunggulan genetik dalam hal ini.

Tapi sebelum itu, iklim negara-bangsa kita harus ditata dulu. Kita bisa belajar dan berkaca dari sepak bola. Inilah saatnya segenap anak bangsa melebur dalam ruh kolektifitas dan kerja keras untuk meraih cita-cita nasional. Tanggalkan dulu kepentingan sempit dan hasrat memperkaya diri dengan mengorbankan kebersamaan. Setiap orang berusaha, berlatih, bertanggung jawab bermain cantik di posisi masing-masing.

Kita punya modal untuk itu. Alam kita, kaya. Penduduk kita, banyak. Citra kita, cukup bagus di dunia internasional. Demokrasi kita mulai bersemi. Anak-anak cerdas yang akan mengawal kreatifitas di dunia pengetahuan dan teknologi mulai merebak. Islam jalan tengah-anti kekerasan menjadi ciri khas muslim negeri ini. Tinggal kita menentukan target-target antara yang jelas dalam tenggat waktu yang tegas. Dalam lima tahun, kita raih apa. Dalam sepuluh tahun kita kejar apa. Dalam satu generasi nanti kita merebut apa. Harus jelas!.

Syarat utamanya, siapa saja yang membahayakan dan merusak permainan harus ditindak tegas tanpa ragu. Demokrasi harus dibarengi dengan penegakan hukum. Para hakim tidak boleh ragu memberi kartu kuning atau bahkan kartu merah kepada siapapun yang merusak capaian material-spiritual bangsa kita. Hakim tidak boleh bermain mata dengan siapapun untuk merusak fair play dan spirit perjuangan. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Cobalah kita lihat, bagaimana tegasnya para wasit di piala dunia kali ini. Begitu masuk lapangan, siapapun harus tunduk pada aturan.

Akhirnya, tim atau pemain bola manapun tidak bisa mengelak dari keberuntungan. Disinilah letaknya doa. Pemain sekelas Ronaldinho sekalipun selalu berdoa selepas menjebol gawang lawan. Kerja keras habis-habisan kemudian berdoa. Semuanya akan baik. Kita bisa menjadi bangsa besar!. Jangan terlalu lama kita menunggu Indonesia Raya dan Merah Putih dikumandangkan dan dikibarkan di peristiwa-peristiwa besar di dunia ini!.

Saturday, June 03, 2006

Belajar Dari Gempa


KETIKA kita dihadapkan dengan panorama bencana: mayat-mayat berserakan, rumah-rumah runtuh, orang-orang terluka dan para pengungsi ‘kleleran’, apa yang berjumpalitan di benak kita?. Apakah yang kita rasakan?.

Sakit.

Itulah yang terjadi berulang-ulang di tanah air kita dua tahun belakangan ini: sejak gempa di Nabire, Tsunami di Aceh dan Nias, --kini—gempa di Yogyakarta dan Gunung Merapi yang masih mengeluarkan asap panas. Ketika panorama itu diputar berulang-ulang, apakah yang kita rasakan?.

Lebih sakit.

Guncangan gempa, hempasan Tsunami dan gelegak lahar itu terus-menerus menggempur hati kita, meninggalkan luka yang masih menganga. Apakah kita mesti mengeluh, “mengapa yang terus datang adalah derita demi derita, gelap di atas gelap?”.

Gelap --yang seperti pakaian-- membalut tubuh bangsa kita. Gelap yang kita sendirilah penyebab pekat dan ketakberanjakannya. Hutan-hutan kita tebangi tanpa keseimbangan; tambang-tambang kita gali habis-habisan; korupsi jadi kebanggaan; moral bangsa hanyut dibawa banjir bandang. Tindak aniaya adalah kegelapan. Demikian pesan al-Qur’an.

Akan tetapi, gelap adalah juga tempat melatih kebeningan, mempertajam perenungan dan –dengan jujur—mengakui kesalahan-kesalahan. Malam menjelang subuh adalah saat terintim manusia dengan Tuhannya.

*

LANTAS, bagaimana kita mesti belajar dari gempa?.

Kalau kita melihatnya hanyalah sekedar peristiwa alam, ilmu pengetahuan memberikan jawaban. Akal yang bekerja disini –mengutip Dr. Taha Abdurrahman, filosof Maroko-- disebut akal mulki ; akal yang menghasilkan pengetahuan.

Akal macam ini memberi kita pengetahuan bagaimana gempa bumi terjadi; bagaimana membuat sistem peringatan dini sebelum ia terjadi; bagaimana mengkonstruk bangunan tahan gempa; bagaimana menyiapkan masyarakat untuk tepat bertindak menjelang, ketika dan setelah gempa terjadi; bagaimana menyiapkan capacity building sistem penangananbencana yang kokoh-efekif ; dan seterusnya. Pemerintah dengan segala perangkat dan fasilitas yang dimilikinya paling bertanggung jawab menyediakan semua ini.

Negara-negara sekuler dan lembaga-lembaga internasional biasanya melihat bencana dari perspektif ini. Dalam konteks bencana alam, reaksi mereka bisa dirunut: ikut belasungkawa, memberi bantuan kemanusiaan (barang atau uang), memperingatkan negara korban agar membangun early warning system dan membantu negara bersangkutan untuk rekonstruksi pasca bencana. Selepas itu, kondisinya kembali ke status quo: aktivitas mereguk habis-habisan kenikmatan dunia kembali dibuka; struktur dunia yang tidak adil tetap lestari dan dunia kembali berputar dengan segala perangkat dan nilainya yang berlaku de facto.

Namun kalau kita melihat gempa dari perspektif nilai (akal malakuti), persoalannya menjadi lain. Akal macam ini mengantarkan seseorang pada keimanan. Bahwa segala peristiwa di dunia ini adalah ayat (tanda yang mengandung nilai) Allah SWT untuk mengajar manusia yang mau menggunakan kecerdasan otak dan hatinya (ulul albab).

Gempa –dalam perspektif ini—bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan alam terhadap keserakahan dan kezaliman manusia; sebagai warning system proteksi Allah SWT terhadap manusia --bahwa dengan kekuasaan-Nya manusia bisa diserang kehancuran kapan saja, oleh banjir, angin topan, gunung meletus dan lain-lain--; sebagai media untuk menguji kesabaran dan kekokohan mental sebuah komunitas untuk meraih masa depan yang lebih baik. Semakin dalam perenungan dengan akal malakuti, semakin banyak makna dan kearifan yang bisa digali.

Orang beriman melihat musibah sebagai ujian. Ia akan keluar menjadi sosok yang lebih kuat setelah musibah berlalu. Kalau ia harus kembali menghadap Penciptanya sekalipun, semboyannya adalah innalillah wa inna ilahi raji’un, segalanya berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Musibah yang menjadi ujian itu memberikan kesempatan kepada orang beriman untuk introspeksi; jangan-jangan ada yang salah dengan dirinya. Bisa jadi ia kurang bersyukur, kurang serius mengabdi kepada Allah, banyak melabrak larangan-larangan-Nya dan seterusnya.

Perenungan macam ini mau tidak mau akan mengantarkan sang empunya untuk kembali kepada-Nya, bertaubat, meneguhkan keimanan dan beramal saleh. Ini adalah perlajaran paling berharga yang bisa dipetik orang beriman dari bencana yang dihadapinya.

*

SIKAP mental dan perilakunya pasca bencana pasti lebih baik dari sebelumnya. Karena bisa jadi gempa adalah medium revolusi spiritual baginya untuk menapaki tangga demi tangga menuju puncak nilai keluhuran manusia.

Bisakah kita, bangsa Indonesia, belajar serius dengan mata nurani dari rentetan bencana yang menghantam negeri kita tahun-tahun belakangan ini?.

Bukankah setelah subuh, gelap pasti berlalu digantikan cahaya mentari; membuka hari baru yang cerah dan menjanjikan?. Bisakah kita merengkuhnya?.