Wednesday, June 14, 2006

Berkaca Dari Sepak Bola


Milyaran pasang mata, dalam sebulan ini, tertuju ke Jerman. Apa lagi, kalau bukan untuk mengikuti perhelatan empat tahunan paling menyihir: piala dunia sepak bola.

Sepak bola, di awal abad ke-21 ini, memang menjadi penyihir paling berhasil. Betapa tidak, semua unsur kepenyihiran ada disitu: uang, hiburan, kemahiran individual, gengsi, kerja kolektif, manajemen profesional, keberuntungan. Semuanya memikat. Semuanya luar biasa.

Sepak bola telah menyihir anak-anak muda dua puluhan tahun itu menjadi orang-orang kaya baru dunia. Ronaldinho, Michael Owen, Wayne Rooney adalah pesepak bola dengan kekayaan puluhan juta dolar Amerika. David Beckham, Ljunberg, telah menjadi ikon pencetak uang di dunia iklan karena bola. FIFA bakal setidaknya meraup US$1,9 milyar, hanya dari pergelaran di Jerman yang sedang berlangsung kini. Para pemain Chelsea berjudi ratusan ribu Pounsterling di satu arena balapan kuda. Roman Abramovich, orang kaya minyak Rusia itu, membeli Chelsea dan sekarang memiliki kekayaan 10 Milyar Poundsterling. Penerbangan Emirates membangun stadion Arsenal dengan US$ 700 Juta dengan perkiraan pendapatan US$ 60 juta per tahun. Pemerintah Jerman mensubsidi lebih dari US$ 1.5 milyar untuk membangun dan memperbaiki stadion yang digunakan pada piala dunia kali ini.

Iya, uang kini memang setali tiga uang dengan dunia hiburan. Sepak bola telah menjadi hiburan yang memanjakan mata milyaran orang. Lihatlah, bagaimamana Ronaldinho meliuk-liuk membawa bola bak penari samba. Lionel Messi bak penyihir cilik membawa hati berjumpalitan ketika menerobos ruang sempit pertahanan lawan. Wayne Rooney seperti roket mengejar umpan terbosan, siap menggetarkan jala lawan kapan saja. Thierry Henry dengan dingin mengecoh barisan bertahan menembus dan menembakkan bola dari sudut-sudut sempit. Masing-masing punya rasa, menjadi hiburan yang sangat menyegarkan. Orang bisa merogoh kocek ratusan euro setiap minggu demi sepak bola, demi hiburan.

Anak-anak muda hebat itu memang telah meraih segalanya; sehat, kuat, kaya, terkenal, cerdas, bersemangat dan terhormat. Tetapi apakah mereka mendapatkan itu semua secara gratis?. Tidak. Mereka bekerja keras. Semua bekerja keras: pemain, pelatih, tim teknis, manajer, direktur. Hukum peradaban bekerja disini: siapa bekerja lebih keras, ia mendapat lebih banyak. Kerja keras yang digabung dengan modal yang cukup, manajemen yang profesional, kolektifitas yang tertata rapi dan dukungan massa yang tak habis-habisnya telah melahirkan sepak bola yang kuat, indah dan memikat.

Dua tahun belakangan, kita melihat contoh kondisi ini : Chelsea di Inggris dan Barcelona di Spanyol. Masing-masing meraih gelar juara liga dua tahun berturut-turut. Barcelona, tahun ini, menambahnya dengan gelar Liga Champion. Masing-masing memperagakan sepak bola indah dengan kerjasama yang tertata bagus. Masing-masing memunclkan ikon-ikon baru di dunia sepak bola. Di Chelsea, ada Abramovich (pemodal), Jose Mourinho (pelatih) dan pemain-pemain bagus (Crespo, Drogba, Lampard, Robben, dll --wajah-wajah yang sekarang bisa kita lihat di piala dunia di tim nasional masing-masing--). Di Barcelona, ada Joan Laporta (presiden), Frank Richard dan pemain-pemain 'ciamik' (Ronaldinho, Samuel Eto'o, Henrik Larsson, Deco, Van Bomel, Lionel Messi, dst --wajah-wajah (kecuali Eto'o) yang kelihatannya bakal dominan di piala dunia ini--).

Mereka semua bisa terus bertambah cerdas karena rotasi hidup mereka yang dinamis di dunia kosmopolit. Ketika mereka bermigrasi karena bola dari negara asalnya, setidaknya mereka potensial menguasai dua bahasa, dua budaya, dua cara hidup. Ini terus bertambah ketika mereka berpindah dari klub ke klub, negara ke negara. Ditambah pula dengan pergaulan kosmopolit mereka sesama insan bola yang datang dari berbagai negara dan kebangsaan. Juninho, pemain Lyon asal Brazil dengan tendangan roket itu, begitu fasih berbahasa Perancis. Samuel Eto'o berbicara Perancis dan Spanyol. Didier Drogba, Perancis-Inggris. Ronaldo, Portugal-Italia-Spanyol. Joseph S. Blatter sendiri, Presiden FIFA, berbicara lancar dalam lima bahasa: Jerman, Inggris, Perancis, Spanyol dan Italia.

Lebih dari itu, ada gengsi dan citra bangsa di sepak bola. Masih ingat dengan 'gelar kebangsawanan' David Beckam di klub-nya Real Madrid selepas menerima penghargaan langsung dari Ratu Inggris, 27/11/2003 lalu?. Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula Da Silva, (10/6), berkirim surat khusus ke Ronaldo, meminta maaf atas komentarnya soal bobot lebih Ronaldo yang diberitakan miring oleh media dan menggangu persiapan Ronaldo menghadapi piala dunia. Ratu dan pemimpin negara merasa perlu memberi penghargaan khusus kepada pahlawan sepak bola-nya karena mereka membela gengsi dan citra bangsa. Siapa yang tidak bangga ketika bendera negaranya dikibarkan dan lagu kebangsaannya dikumandangkan di tengah sorot mata milyaran manusia?. Siapa yang sekarang tidak kenal negara bernama Togo, Pantai Gading, Trinidad-Tobago setelah tim sepak bola-nya bisa lolos ke piala dunia?.

Kenyataan ini tidak bisa diabaikan oleh siapapun, apalagi oleh penyelenggara negara. Itulah sebabnya, Presiden Iran, Ahmadi Nejad, merasa perlu turun ke lapangan ketika anak-anak negerinya bersiap ke piala dunia, berencana menyaksikan langsung perjuangan mereka di Jerman dan menitipkan semangat membela habis-habisan nama bangsa dan negara di lapangan hijau. Perdana Menteri Inggris, Tony Blair berjanji akan ikut tarian robot gaya Peter Crouch kalau tim kesebelasan negaranya berhasil merebut gelar piala dunia.

Sepak Bola, terbukti memang bisa menjadi lem perekat kohesi kebangsaan. Di dunia Arab pernah muncul pameo, "Arab hanya bisa disatukan oleh dua hal: Umi Kulsum, penyanyi legendaris Mesir, dan Sepak Bola". Meskipun di dunia politik, negara-negara Arab banyak 'berantem', tapi kalau ada kesebalasan negara Arab yang lolos ke even sepak bola internasional, mereka akan bersatu mendukungnya.


Bagaimana dengan Indonesia?

Ketika kampanye lalu, Presiden SBY bersemboyan, "bersama kita bisa". Apakah tuan Presiden masing ingat semboyan ini ketika sekarang nonton bareng piala dunia di Istana?. Iya, sepak bola, menjasadkan semboyan ini dengan sepenuh makna kata.

Tidak ada yang jauh kalau kita bersama dan bekerja keras. Kita pasti bisa. Siapa yang awalnya menduga Togo, Pantai Gading atau Trinidad-Tobago bisa masuk piala dunia?. Tidak mustahil, kalau kita bersama dan bekerja keras, kesebelasan Indonesia bisa masuk piala dunia juga nantinya: tiga atau empat kali lagi piala dunia. Asal jelas targetnya, konsisten, didukung negara dan disemaikan dari bibit-bibit unggul yang dilatih profesional. Tidak ada keunggulan genetik dalam hal ini.

Tapi sebelum itu, iklim negara-bangsa kita harus ditata dulu. Kita bisa belajar dan berkaca dari sepak bola. Inilah saatnya segenap anak bangsa melebur dalam ruh kolektifitas dan kerja keras untuk meraih cita-cita nasional. Tanggalkan dulu kepentingan sempit dan hasrat memperkaya diri dengan mengorbankan kebersamaan. Setiap orang berusaha, berlatih, bertanggung jawab bermain cantik di posisi masing-masing.

Kita punya modal untuk itu. Alam kita, kaya. Penduduk kita, banyak. Citra kita, cukup bagus di dunia internasional. Demokrasi kita mulai bersemi. Anak-anak cerdas yang akan mengawal kreatifitas di dunia pengetahuan dan teknologi mulai merebak. Islam jalan tengah-anti kekerasan menjadi ciri khas muslim negeri ini. Tinggal kita menentukan target-target antara yang jelas dalam tenggat waktu yang tegas. Dalam lima tahun, kita raih apa. Dalam sepuluh tahun kita kejar apa. Dalam satu generasi nanti kita merebut apa. Harus jelas!.

Syarat utamanya, siapa saja yang membahayakan dan merusak permainan harus ditindak tegas tanpa ragu. Demokrasi harus dibarengi dengan penegakan hukum. Para hakim tidak boleh ragu memberi kartu kuning atau bahkan kartu merah kepada siapapun yang merusak capaian material-spiritual bangsa kita. Hakim tidak boleh bermain mata dengan siapapun untuk merusak fair play dan spirit perjuangan. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Cobalah kita lihat, bagaimana tegasnya para wasit di piala dunia kali ini. Begitu masuk lapangan, siapapun harus tunduk pada aturan.

Akhirnya, tim atau pemain bola manapun tidak bisa mengelak dari keberuntungan. Disinilah letaknya doa. Pemain sekelas Ronaldinho sekalipun selalu berdoa selepas menjebol gawang lawan. Kerja keras habis-habisan kemudian berdoa. Semuanya akan baik. Kita bisa menjadi bangsa besar!. Jangan terlalu lama kita menunggu Indonesia Raya dan Merah Putih dikumandangkan dan dikibarkan di peristiwa-peristiwa besar di dunia ini!.

No comments: