Lompatan besar seringkali lahir dari situasi gawat darurat.
Bangsa Belanda menghasilkan insinyur-insinyur konstruksi bendungan nomor wahid di dunia karena mereka harus berjuang mempertahankan hidup. Posisi negeri mereka yang di bawah permukaan laut, membuat negeri mereka setiap saat diintai bahaya terendam air. Situasi gawat darurat memaksa mereka memeras otak untuk ‘menaklukkan’ alam yang ganas. Mereka kini berhasil bersahabat dengan air dengan bendungan-bendungan super canggihnya.
Anis Manshur, penulis kolom harian di Koran As-Syarq Al-Awshat, menyebut bahwa manusia nomaden sangat menguasai seni tidur. Ketika mereka hidup di hutan atau di padang terbuka, hidup mereka setiap saat terancam serangan binatang buas. Mereka menjadi pintar memilih tidur singkat, tidak ngorok, mengajari anak-anak mereka untuk tidak menangis keras di malam hari, dst. Mereka berperilaku disiplin berhadapan dengan situasi gawat darurat.
Israel boleh jadi contoh paling segar. Negeri berpenduduk 5 jutaan orang ini setiap saat mempertaruhkan eksistensinya di harapan negeri-negeri arab berpenduduk 350 jutaan orang. Mereka bekerja keras memperkuat sistem pertahanan, membangun senjata nuklir, menjaga pengaruh lobi internasional dan berhitung stragtegi detik ke detik dengan musuh-musuhnya. Mereka sangat menguasai seni bertarung secara terbuka atau tertutup di panggung politik-militer internasional.
Saya ingin mengatakan, rasa gawat darurat itulah yang hilang, terutama dari pemimpin-pemimpin Indonesia. Ketika bencana datang tanpa henti, kecelakaan darat, laut dan udara menghantam negeri, kemiskinan tak kunjung beranjak dan penyakit fisik dan mental yang masih mewabah, para pemimpin kita masih bersikap biasa-biasa saja, ada yang asyik pesiar ke luar negeri, ada yang sibuk menaikkan gaji dst. Seolah-olah segala sesuatu berjalan dengan baik.
Saya kira, perlu diumumkan situasi gawat darurat ke seluruh penjuru negeri untuk semua level kehidupan kita. Situasi kita tidak biasa. Perlu kerja keras ekstra dari seluruhnya. Kerahkan semua potensi bangsa untuk mengatasi masalah dan melompat setinggi-tingginya. Modal inilah yang dulu menjadi mesin kita meraih kemerdekaan. Tidak bisakah kita menggunakannya kini untuk menaikkan derajat bangsa kita: agar keadilan sosial, kesejahteraan, kecerdasan dan masa depan gemilang, bukan hanya berbusa-busa di mulut para politikus ketika pemilu, tetapi betul-betul dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Bagaimana menurut anda?
No comments:
Post a Comment