Monday, July 24, 2006

NU, Pesantren dan Kebangkitan Indonesia

“Standing Ovation” panjang bergemuruh menyertai pengumuman Jonathan Pradana Mailoa sebagai ‘absolutely winner’ pada IPhO (International Physics Olymphiad) ke 37 tahun 2006 di Singapura. Air mata kebanggaan, haru dan bahagia tak kuasa ditahan seluruh masyarakat Indonesia yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Ternyata kita masih memiliki kebanggaan sebagai bangsa. Optimisme masih menemukan tempat di tengah derita bergantian yang menghantam bangsa kita.

Dr. Yohanes Surya,pencetus dan pembimbing Tim Olimpiade Fisika Indonesia, merekam rasa itu di email yang ditulisnya pada 17 Juli 2006 dan beredar di beberapa milis. Rasa kaget dan kagum silih berganti di sampaikan duta-duta besar negara peserta. Dr. Surya menulis, “Selesai upacara, semua orang menyalami. Orang Kazakhtan memeluk erat-erat sambil berkata ”wonderful job...” Orang Malaysia menyalami berkata “You did a great job...” Orang Taiwan bilang :”Now is your turn...” Orang filipina: amazing...” Orang Israel “excellent work...” Orang Portugal:” portugal is great in soccer but has to learn physics from Indonesia”, Orang Nigeria : could you come to Nigeria to train our students too?” Orang Australia: great....” Orang belanda: “you did it!!!” Orang Rusia mengacungkan kedua jempolnya.. Orang Iran memeluk sambil berkata “great wonderful...”. 86 negara mengucapkan selamat”.

Bahkan gaung kemenangan ini bergema sampai ke Eropa. Prof. Marc Deschamps dari Belgia, demikian Dr. Surya, mengirim SMS: “Echo of Indonesian Victory has reached Europe! Congratulations to the champions and their coach for these amazing successes! The future looks bright”. Efek kejut untuk bangkit inilah yang membersitkan fajar kebangkitan Indonesia.

Seperti kata pepatah Cina, “langkah seribu dimulai dari ayunan pertama”. Kita sedang mengayunkan langkah untuk capaian besar. Itulah sebabnya, Dr. Surya memiliki target meraih nobel 2020 dari kerja prestisius ini. Kerja besar dan gila, pada awalnya memang mengundang tawa sinis, namun bersama putaran waktu, sinisme itu terpaksa berubah menjadi decak kagum. Dengan modal potensi besar dan kerja keras, Dr. Surya membuktikan bahwa obsesi-nya itu bukan mimpi.

Yang menarik dicermati adalah efek berantai optimisme ini. Menurut Dr. Surya, prestasi demi prestasi gemilang di pentas kompetisi sains internasional ini telah mendongkrak rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bahwa kalau dirawat dengan benar, tunas-tunas bangsa yang berotak cemerlang dapat berperan besar di pentas internasional. Bersamaan dengan itu, gerakan yang dimulai sejak 1993 ini, mulai menemukan bangunan sistemik-nya. Melahirkan fisikawan besar dan basis teori sains bagi kebangkitan Indonesia hanyalah persoalan waktu.

Saat ini, sudah puluhan orang mantan anak didik Dr. Surya sedang menimba ilmu di universitas-universitas ternama Internasional. Di dalam negeri, guru-guru mulai bersemangat meng-up grade diri untuk memperbaiki kapasitas ajarnya dalam sains, terutama fisika. Murid-murid sekolah menengah pun mulai mengapresiasi fisika sebagai pelajaran yang menyenangkan. Intinya, antusiasme, kerja keras dan visi yang jelas adalah kunci meraih sesuatu yang besar.


Expat: jalan pintas ke pentas dunia

Belum lama, suguhan piala dunia sepak bola Jerman 2006 menjadi pusat perhatian dunia. Satu hal menarik yang mesti dicatat, banyak negara-negara kecil di Afrika seperi Pantai Gading, Ghana, Togo, Tunisia bisa tampil dengan kesebelasannya di pentas bergengsi tersebut. Ternyata, sumber daya pesepak bolanya banyak yang bermain di liga-liga Eropa. Sebagai contoh, Didier Drogba (Chelsea) di pantai gading, Essien (Chelsea) di Ghana, Adebayor (Arsenal) di Togo adalah bintang di liga-liga Eropa.

Mengimpor kader-kader potensial ke kandang-kandang penggemblengan paling bermutu di dunia adalah jalan pintas menembus persaingan di dunia global yang semakin datar ini. Mereka akan kembali ke negerinya dengan ilmu, pengalaman, keahlian dan visi ke depan yang cukup untuk membangkitan dan mendayagunakan segala sumber daya di negerinya untuk bangkit mengejar kesetaraan dengan negeri-negeri mentor.

China dan India adalah dua contoh bagus dalam hal ini. Dari pengalaman anak-anak asuh Dr. Surya, terbukti yang selalu menjadi saingan mereka di Universitas-universitas besar di Amerika adalah anak-anak Cina. Mereka inilah yang kemudian menjadi mesin SDM Cina memutar mesin besar kebangkitan ekonomi-nya. Kemajuan industri IT (Information Technology) India juga berangkat dari kisah yang sama. Anak-anak India yang handal di bidang IT dari hasil gemblengan di universitas-universitas besar di barat, kembali ke India untuk memutar mesin kebangkitan bangsanya.

Inilah pula yang kita harapkan dari Indonesia. Harus ada strategi nasional untuk mengikuti alur para expat ini; mulai dari sokongan sejak pembibitan, pengawasan selama pendidikan dan latihan kerja, sampai dengan penyediaan peran-peran signifikan yang bisa mereka ambil dalam kerangka Indonesia bangkit. Inilah jalan pintas memutus lingkaran setan yang menghambat kemajuan Indonesia.

Tentu saja, ini berlaku bukan hanya untuk bidang sains. Tetapi bidang-bidang lain di luar itu; seni, filsafat, sastra, kebudayaan, humaniora, sosial, politik dan seterusnya bisa diletakkan pada alur yang sama. Betapapun kontroversialnya Pramoedya Ananta Toer, karya-karyanya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia adalah kebanggaan Indonesia. Syamsi Ali yang belum lama dinobatkan sebagai tokoh muslim paling berpengaruh di New York City adalah juga contoh bagus. Intinya, standar karya anak bangsa harus dinaikkan sampai level internasional.


Peran NU dan Pesantren

Tetap menjadi kebanggan menyebut ulama-ulama besar dengan karya monumental di level internasional (dunia Islam) seperti Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Yasin Padang, Syekh Arsyad Banjar dan seterusnya. Tapi itu dulu. Ketika jaringan ulama masih memusat di Hijaz dan antusiasme pelajar nusantara belajar ilmu agama masih tinggi.

Ketika pusat itu bergeser ke Mesir, ulama-ulama besar sekaliber mereka, belum muncul lagi sampai hari ini. Kita bisa menyebut Gus Dur atau Gus Mus sebagai generasi mahasiswa Universitas al-Azhar Mesir tahun 60-an, tetapi dengan karya keilmuan yang masih miskin untuk ukuran ulama berkaliber internasional. Begitu juga dengan Quraish Shihab. Meski banyak karya tafsir yang lahir dari tangan beliau, tetap saja belum menembus level dunia untuk bersanding misalnya dengan karya Thahir Bin Asyur atau (sekarang ini) Sayyid Thantawi Grand Syekh Azhar, Syekh Ali Jum’ah, Mufti Mesir atau Syekh Yusuf al-Qardlawi.

Kini kita harap-harap cemas menantikan terobosan dari lumbungnya para kiai: NU dan Pesantren. Sejak generasi Kiai-kiai besar yang wafat pada tahun 90-an awal semisal KH. Ali Maksum, KH. Asad, KH. Ahmad Siddiq, Kiai Adlan Ali, belum muncul secara sistemik dan massif kiai-kiai baru yang komprehensif, kharismatik, mumpuni secara keilmuan dan meninggalkan pengaruh besar.

Kalau boleh mengambil inspirasi dari apa yang dilakukan Dr. Surya : ambillah bibit unggul dari belasan ribu pesantren se Indonesia, seleksi mereka seketat mungkin, ambil yang paling potensial, godok siang malam, terapkan standar mujtahid (hafal qur’an, matan hadits, ilmu ushul, ilmu alat dan penguasaan terhadap realitas; ditambah (versi Prof. Arkoun) dengan pengetahuan terhadap produk terbaru di dunia ilmu humaniora), wajibkan berbahasa Arab, Inggris (kalau bisa, ditambah Perancis). Ketika dasarnya cukup, kirim mereka ke universitas agama paling berkualitas dan sambungkan mereka dengan syekh yang paling berkualitas juga untuk berlajar dari mereka sampai tuntas. Untuk ini, ambil dana umat karena mereka, selepas dididik, akan bekerja untuk umat.

Dengan antusiasme dan kerja keras segalanya bisa direngkuh. Alangkah membanggakan kalau tidak lama kemudian, secara sistemik, mujtahid-mujtahid muashir muncul dari dunia pesantren dan NU. Ayo NU, ayo Pesantren mulailah lebih serius mempersiapkan mujtahid-mujtahid itu!. Agar suatu saat nanti, Indonesia berhak berada di pusat peradaban manusia. Bukankah langkah seribu dimulai dari langkah pertama?.