Wednesday, August 30, 2006

Belajar dari Hizbullah

Sayyid Hasan Nasrullah. Nama ini menjadi buah bibir bangsa Arab-Islam akhir-akhir ini. Ia bukan lagi sekedar tokoh Syiah tetapi telah melompat menjadi simbol perlawanan bangsa Arab terhadap pendudukan Israel dan hegemoni Amerika.

Perang 33 hari itu telah menunjukkan banyak hal. Pertama, citra militer Israel sebagai kekuatan paling besar dan tak terkalahkan di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya runtuh oleh perlawanan heroik milisi Hizbullah. Kedua,proyek "Timur Tengah Raya" Amerika di kawasan ini semakin sulit menyentuh bumi kalau tidak bisa dibilang gagal. Ketiga, terjadi pergeseran aliansi politik dengan setidaknya dua kekuatan besar: Hizbullah-Hamas-Suriah dan Iran di satu pihak dan Yordania-Saudi Arabia dan Mesir di pihak lain. Singkatnya, yang pertama kontra Amerika dan yang kedua pro Amerika.


Hizbullah membuktikan diri bisa melawan Israel (dan Amerika di belakangnya) di semua level: operasi militer, kecanggihan intelijen, payung politik, perang media, kekuatan uang, dukungan opini publik dan --sebagai basis dari semuanya-- kekuatan ideologi.

Awalnya, Hizbullah menawarkan solusi politik untuk pembebasan dua tentara Israel yang ditawannya. Tetapi Israel melihatnya sebagai peluang untuk menghancurkan Hizbullah. Kekuatan militer pun digelar. Targetnya: membebaskan dua tawanan dan menghancurkan infrastruktur militer Hizbullah. Hasilnya: gagal total. Dua sandera tidak berhasil dibebaskan. Kekuatan militer Hizbullah pun masih menjadi ancaman besar buat Israel.

Adu canggih intelijen juga berlaku dalam perang ini. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Hizbullah berhasil menanam perangkat intelijennya yang bekerja dengan sangat rahasia di dalam Israel. Maka seluruh keputusan pergerakan militer : kapan harus melepas rudal, kapan menyergap, kapan mundur, mana saja target sasaran dan seterusnya, dibuat berdasarkan informasi intelijen yang akurat. Sementara itu, beberapa kali, tentara Israel menyerang rumah sakit, pemukiman rakyat dan fasilitas umum yang disangka salah sebagai tempat penyembunyian senjata Hizbullah atau salah menangkap orang hanya karena bernama Hasan Nasrullah. Bukti-bukti gagal-sukses adu kecanggihan perangkat intelijen ini banyak beredar di televisi atau media-media online berbahasa Arab.

Pada tingkat kekuatan politik, Hizbullah juga pandai berhitung. Dua hari setelah Israel menyerang Lebanon, Saudi Arabia justru menyalahkan Hizbullah. Belakangan, Raja Abdullah, Yordania dan Husni Mubarak, Presiden Mesir, menyampaikan suara senada. Hizbullah dianggap nekat dan tanpa perhitungan menawan tentara Israel yang menyebabkan Israel ngamuk dan menyerang Lebanon. Namun ternyata, poros politik ini segera saja mendapat kontra wacananya ketika Suriah dan --terutama-- Iran mendukung Hizbullah. Di tingkat tekanan massa, politik jalanan di Mesir dan Amman mendesakkan suara yang berseberangan dari suara resmi pemerintahnya. Artinya, Hizbullah berhitung juga soal kekuatan politik di tingkat kawasan dan global dalam setiap pergerakannya. Kini, apapun perubahan politik yang hendak dilakukan di kawasan ini, Hizbullah harus diletakkan sebagai salah satu faktor pertimbangan.

Perang urat syaraf dan perebutan opini publik pun berlangsung tidak kalah sengit dalam perang 33 hari ini. Hasan Nasrullah sebagai ikon utama tampil elegan, gagah, cerdas, fasih dan menggugah menyapa publik dan milisi-nya di medan laga secara teratur di layar kaca. Tujuannya: menguatkan mental kawan dan menghancurkan mental lawan. Untuk itu,Televisi Al-Manar, corong resmi Hizbullah, tampil efektif membela kepentingan Hizbullah. Lebih dari itu, televisi Al-Jazeera di Doha dan Al-Alam di Teheran secara kasat mata 'berpihak' kepada Hizbullah dalam perang ini. Dari sisi media, Hizbullah menang besar dalam perang kali ini.

Sebagai efek berantai, masyarakat Arab semakin yakin bahwa muqawamah (gerakan perlawanan terhadap okupasi Israel-Amerika) adalah satu-satunya pilihan yang tersisa dalam konflik panjang Arab-Israel. Label yang diusung oleh Hizbullah dan Hamas dalam pergumulannya dengan Israel. Sebab segala bentuk kesepakatan politik yang ditandatangani dengan Israel, sejauh ini tidak berhasil menghentikan tindakan brutal tentara Israel yang menghancurkan rumah, menangkapi tokoh-tokoh resistensi di Palestina dan tidak ragu menjadikan rakyat sipil tak berdosa sebagai korban meninggal atau luka-luka.

Bagaimana dengan kekuatan uang?. Sejak awal politik Israel-Amerika adalah bagaimana menjauhkan rakyat Lebanon dari Hizbullah. Bahkan, bagaimana membalik opini massa dari mendukung menjadi menolak Hizbullah. Itulah salah satu sebab tentara Israel membombardir rumah-rumah, jembatan, rumah sakit, bandara yang tidak ada sangkut-pautnya dengan gudang senjata Hizbullah. Targetnya, agar massa menyalahkan Hizbullah karena menjadi penyebab semua kehancuran itu. "Kalau saja Hizbullah tidak memancing amuk Israel, niscaya kehancuran ini tidak terjadi", itulah kira-kira yang diharapkan oleh Israel-Amerika muncul di benak rakyat Lebanon.

Maka ketika gencatan sejata dicapai, Amerika mendapat peluang untuk mengambil hati rakyat Lebanon dengan isu rekonstruksi. Namun apa yang terjadi?. Segera setelah gencatan senjata, Hassan Nasrullah tampil di layar kaca dan mengumumkan bahwa : pertama, seluruh keluarga yang mengalami kerugian oleh sebab perang (diperkirakan antara 15-25 ribu keluarga) akan mendapat dana 12.000 Dolar Amerika per keluarga untuk bisa sewa rumah selama setahun. Kedua, Hizbullah akan membangun kembali rumah-rumah yang hancur sesegera mungkin yang diperkirakan berjumlah 15.000 rumah dengan perkiraan anggaran 30.000 Dolar Amerika per rumah. Bisa dibayangkan betapa besar kekuatan dana Hizbullah. Memang muncul banyak spekulasi soal dari mana sumber dana Hizbullah ini. Banyak yang menyebut bahwa sumbernya adalah kombinasi antara sumbangan para dermawan kaya simpatisan Hizbullah di seluruh dunia dan dukungan dana Iran. Tampak di layar kaca, bagaimana para relawan Hizbullah membagi-bagikan uang dalam dolar kepada para keluarga korban untuk biaya hidup setahun.

Kembali kecerdasan politik, kecepatan bertindak dan kekuatan yang memadai bekerja untuk menutup segala peluang yang bisa dipakai oleh kekuatan Israel-Amerika dan para pendukungnya untuk memenangkan pertarungan. Ala kulli hal, Hizbullah yang resminya berdiri tahun 1982, berhasil menjadi kekuatan yang memiliki perangkat militer, politik, intelijen, keuangan, media, hubungan luar dan ideologi yang memadai untuk bermain di level kawasan, membela tanah Lebanon dari segala bentuk agresi dan serobotan Israel.

Apa pelajaran yang tersisa?. Ya, selain sisi militer dan ideologi, organisasi-organasi keagamaan-kemasyarakatan atau bahkan organisasi politik sekalipun, layak berlajar dari Hizbullah. Bagaimana misalnya menjadikan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia bisa kuat dan mandiri secara prinsip keorganisasian, pendanaan dan media, sehingga peran-peran yang diambil bisa lebih signifikan, baik pada level dalam negeri, kawasan maupun internasional. Tampaknya para aktifis organisasi di dalam negeri perlu bekerja lebih keras untuk membangun kemandiriannya pada seluruh level, tentu dengan tetap berada dalam kerangka aturan main yang disepakati bersama. Kalau musuh kasat mata berupa agresor dan penjajah bersenjata sudah menghilang, bukankah musuh berupa kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan global dan keberingasan imperium oligarki kapitalisme internasional lebih jahat dan berbahaya?.