Saya kira, lebih banyak orang yang menyempitkan hidupnya ketimbang memperluasnya.
Berapa banyak orang yang melihat bumi ini hanyalah sekedar sebutir kacang hijau di keluasan jagat raya yang lebih banyak misterius ketimbang yang sudah diketahui secara ilmiah?
Berapa banyak orang yang tidak terjebak pada ukuran-ukuran material yang sempit dalam pergaulan kehidupannya untuk memetakan hubungan diri dengan alam, orang lain dan Sang Pencipta?
Berapa banyak orang yang bertahan pada tempurung keterbatasan: pengetahuan, ruang gerak, sumber pencaharian, gapaian spiritual tertentu dan berhenti bergerak atau berhenti melompat untuk meraih cakrawala yang lebih luas dan multi dimensional?
Berapa banyak orang yang memilih kolam kecil yang melenakan ketimbang lautan luas yang menampung apa saja termasuk ciptaan Tuhan yang paling besar di bumi ini?
Berapa banyak orang yang memilih kesenangan sementara dan terbatas di dunia ini dengan mengorbankan kebahagiaan abadi dan tanpa batas di kehidupan akhirat kelak?
Berapa banyak orang yang terjebak pada komplikasi penyakit jiwa yang bernama takut kematian, mengumbar nafsu seksual, memelihara kekikiran dan mengurung diri pada kekurangan-kekurangan jiwa raganya yang seluruhnya menyempitkan hidupnya ketimbang memilih jihad, kehormatan diri, memberi dan menyenangkan sebanyak mungkin orang yang seluruhnya memperluas dan memberikan kebahagiaan hakiki?
Saya kira, lebih banyak yang memilih kesenangan sementara yang menyempitkan ketimbang kebahagiaan langgeng yang meluaskan. Itulah sebabnya, manusia wajib terus belajar sepanjang hidupnya untuk memperluas cara pandangnya sampai pada horizon terluas yang mungkin dicapainya. Lantas, kenapa banyak orang berhenti belajar dan mencari kemapanan-kemapanan? Kemapanan adalah lonceng kematian, sebagaimana darah yang berhenti mengalir menandakan maut yang segera datang menjemput.
No comments:
Post a Comment