Hidup terus bergerak karena selalu ada jarak antara harapan dan kenyataan.
Sejak abad ke-5 sebelum masehi Plato 'bermimpi' tentang sebuah negara yang dipimpin oleh seorang filosof. Seorang kepala negara yang lulus dari perkaderan panjang dalam sebuah masyarakat sosialis; dari pembentukan fisik, 'install' pengetahuan, eksperimentasi bergulat dalam masyarakat sampai dengan penanaman-pemuaian kearifan-kearifan. Seorang pemimpin yang sudah selesai berproses dari terminal ke terminal yang sulit sehingga tidak memiliki pamrih untuk pribadi. Ia hidup, berpikir dan berangan-angan hanya semata untuk masyarakat-nya. Negara Plato memang indah untuk dibayangkan. Negara yang dinamakannya: Jumhuriya.
Al-Farabi 'bermimpi' lebih jauh. Negara yang disebutnya 'al-Madinah al-Fadlilah' (negara utama) mesti dipimpin oleh seorang filisof yang memiliki juga kualitas kenabian. Baginya persamaannya adalah Filosof=Nabi. Iya, seorang pemimpin yang tidak hanya melambangkan pucuk struktur sosial kasat mata tetapi juga pucuk kualitas kepemikiran yang mengantarkannya di batas tertinggi kemampuan manusia untuk sampai pada serial mata rantai 'faidl', emanasi yang mesti dilalui seluruh alam semesta untuk sampai ke dunia nyata.
Gambaran-gambaran ini memang lebih asyik digambarkan di alam ide ketimbang ditemukan di alam nyata. Namun sekali lagi, itulah yang menjadikan hidup terus bergerak. Itulah yang menjadikan para pemilik ilmu dan kearifan terus berada dalam pergulatan dengan kekuasaan.
Tahun lalu, Aku sempat pergi ke Iran. Satu hal yang bagiku paling mengesankan di negeri ini adalah ulama-nya yang begitu ber-power. Ulama-lah yang menentukan merah-hitam negeri itu. Namun begitu, bangsa Iran (syiah-nya) masih menunggu Imam Mahdi, sang ratu adil yang menjadi ideal mereka. Maka hidup terus bergerak mengejar idealitasnya.
Selebihnya di banyak negara, para pemilik ilmu (ulama, ilmuan, intelektual) terus begulat dan berbagai formula dengan kekuasaan. Kenapa?. Karena mereka memanggul amanat untuk menggiring masyarakatnya menuju idealitas-idealitas.
Dalam apapun bentuk penampakan dan penggunaan kekuasaan, Intelektual selalu muncul: mengafirmasi, menyediakan perangkat justifikasi, mengkritisi atau menolak dan memberontak.
Samuel P. Huntington muncul untuk 'mengompori' benturan-benturan besar yang terjadi di dunia kita sekarang. Kabarnya, Einstein menyesal menemukan bom atom yang digunakan pada perang dunia II dan menyisakan tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Antonio Gramsci berbicara tentang dua jenis Intelektual: Tradisional dan Organik untuk menyatakan dengan yang kedua keharusan kaum intelektual untuk terlibat aktif dalam perubahan masyarakatnya.
Tapi kemarin pagi, Aku membaca tulisan Hasyim Shalih di kolom opini Koran as-Syarqul Awsath yang mengulas dengan memikat apa yang disebutnya "intelektual kritis". Makhluk apalagi ini? Menurutnya, kaum intelektual tidak cukup hanya terlibat kemana arah masyarakat bergerak, tetapi lebi dari itu mengkritisi diri masyarakatnya untuk menampakkan penyakit diri sendiri agar tidak terus semakin karam dalam kesalahan yang dimamah biak dari generasi ke generasi. Ia menunjuk konflik Arab-Israel yang berkepanjangan dan tidak menemukan penyelesaian oleh sebab kelompok besar dari kedua belah pihak (termasuk kaum intelektual) masih tidak bisa mengakui eksistensi pihak lain dan tidak mau mengakui kesalahan diri sendiri. Di sinilah, menurutnya peran penting kaum intlektual kritis untuk melawan arus besar masyakatnya demi masa depan yang lebih baik.
Aku belum paham persis apakah jenis intelektual kritis ini ada di masyarakat kita di Indonesia. Tren yang saya lihat adalah para intelektual ramai-ramai terlibat di partai, birokrasi, kampus atau organisasi keagamaan-kemasyarakat untuk menjadi bagi yang menyusun konsepnya atau menjadi pelaku konsep itu sekalian. Aku belum melihat munculnya kaum intelektual yang serius dan konsisten menjadi bagian yang mengkritisi kesalahan-kesalahan kaprah yang dianggap sebagai 'recieved ideas' di masyarakatnya dan menyusun masa depan masyarakatnya atas basis keilmuan, peradaban dan kearifan yang kuat.
Apakah karena masing-masing kita belum bisa melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan pribadi jangka pendek kita?. Atau karena memang masyarakat menuntut demikian?. Dan kita pun, kaum intelektual, terjebak mengiyakannya?
No comments:
Post a Comment