Sunday, January 06, 2008

Alamaaak!

Apakah gerangan kata mahasiswa yang pada tahun 1998 lalu sampai mengorbankan nyawa mengusung kata sakti 'reformasi' ketika melihat Pak Harto dikelilingi hormat dan simpati para petinggi negeri ini?

Apakah gerangan yang terlintas di benak para pahlawan reformasi ketika Ketua DPR bilang bahwa kasus Pak Harto tidak usah diutak-atik?

Apakah gerangan 'gremengan' batin para buruh, petani, rakyat kecil yang ikut tumpah ke jalan memaksa Pak Harto berhenti jadi presiden tahun 1998 itu?

Alamaaak, terlihat sekarang betapa perubahan mendasar yang menjadi kepentingan bersama yang menggerakkan tuntutan reformasi itu belum terjadi. Terkoreksi sekarang, agenda-agenda besar reformasi yang diusung itu. Terlihat juga, siapa yang betul-betul menginginkan perbahan mendasar dan siapa yang menunggangi kata reformasi untuk mempertahankan batang tubuh kekuasaan lama yang dulunya, katanya, otoriter dan memeras darah dan keringat rakyat banyak.

Seingat saya, di antara tuntutan reformasi ketika itu adalah adili Suharto dan bubarkan Golkar. Tapi alih-alih mengadili Pak Harto dan membubarkan Golkar, justru para kader Pak Harto masih sangat berkuasa di negeri Indonesia tercinta.

Pantas saja kalau hampir sepuluh tahun Pak Harto lengser, bangsa kita masih terseok-seok buat mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan rakyat dan menegakkan hukum tanpa pilih-pilih. Pantas saja kalau oligarki kekuasaan masih kasat mata di negeri kita. Pantas saja kalau malah ada pikiran agar demokrasi masuk kotak saja. Dan seterusnya-dan seterusnya.

Sementara dari sejak Pak SBY berkuasa, bencana alam tak henti menguji kesabaran rakyat kecil yang lama tidak diurus betul-betul kesejahteraannya. Sudah tak terbilang ongkos yang diminta; nyawa yang melayang, kerugiang uang yang bermilyar-milyar, jiwa-jiwa yang tergoncang, air mata yang tumpah bah dan trauma korban bercana yang diperhatikan serius hanya ketika bencana disorot media dan tidak terlalu penting nasibnya diperhatikan setelah sorotan media menjauh dan hingar-bingar cari popularitas selesai.

Sementara di ranah apa yang disebut sebagai kebanggaan negeri kita yaitu demokrasi dengan pemilihan langsung , uang bermilyar-milyar ditebar tak kenal kepantasan moral dan empati kepada rakyat miskin. Berani sekali calon-calon kepala daerah atau negara misalnya mengeluarkan uang bermilyar-milyar untuk merebut kekuasaan. Layakkah sebenarnya negara dan rakyat kita miskin dan tidak dapat pekerjaan di tengah begitu dermawannya sang calon dan derasnya uang mengalir demi merebut kursi kekuasaan?

Sampai berapa lama lagikah negeri kita salah urus dan salah arah? Sampai berapa lama lagikah rakyat bisa disuguhkan ketidakjujuran dan diatasnamakan demi kepentingan segelintir orang dalam lingkaran oligarki kekuasaan? Sementara alam terus-menerus memberi peringatan agar kita sebagai bangsa bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.

Entah kepada siapa seruan pelurusan arah perjalanan bangsa dengan pemimpin-pemimpin yang jujur dan betul-betul berpihak kepada rakyat dan generasi Indonesia masa depan harus dialamatkan. Dalam situasi yang serba abu-abu dan ketidakjelasan identitas, siapa pembajak dan siapa pengabdi, seperti ini, suara penderitaan rakyat agar dibela betul-betul sulit harus dialamatkan dan dipercayakan kepada siapa.

Kelihatannya, mahasiswa dan kaum muda yang berlum terkontaminasi virus kekuasaan yang oligarkis perlu kembali merapatkan barisan dengan menutupi kekurangan gerakan 1998. Jangan biarkan lagi ada pembonceng di tengah jalan dan pahlawan kesiangan. Jangan biarkan lagi gerakan hanya mengusung ide besar tapi miskin konsep implementasi yang lebih riil di tingkat penyelenggaraan negara, kalau tidak mau gurita kekuasaan yang sudah dibangung orde baru selama puluhan itu kembali menjulur kemana-mana dan menguasai setiap jengkal kekuasaan di negeri ini.

No comments: