Prolog
Dalam tema besar yang ditawarkan panitia, tema tulisan ini merupakan derivasi dari tema: Masyarakat Religius dan Problem Konsepsi. Membangun masyarakat religius memang harus dimulai dari pilihan konsep yang tepat. Karena istilah masyarakat religius masih abstrak dan butuh konseptualisasi serius. Banyak masalah yang harus dibongkar, dirumuskan ulang dan dicarikan jawaban yang tepat menyangkut konsepsi masyarakat religius.
Oleh karena itu, dengan tema ini, penulis hendak menelusuri dua istilah kunci dalam membangun kosepsi masyarakat religius: sekularisme-sekularisasi dan puritanisme-puritanisasi. Untuk menjadikan tulisan ini runtut dan sistematis, penulis hendak memulai pembicaraan tentang makna-makna (sekularisme-sekularisasi dan puritanisme-puritanisasi), pergeseran-pergeserannya, implikasi-implikasi-nya, masa depannya dan upaya mencari model masyarakat religius yang tepat dalam konteks kekinian.
Makna Sekularisasi dan Puritanisasi
Telah menjadi kesepakatan bahwa sekularisme lahir, besar dan melembaga di masyarakat barat. Prosesnya bermula dari gerakan reformasi agama yang titik tolaknya berangkat berbarengan dengan kelahiran era modern di Eropa Barat pada sekitar abad ke-16. Gerakan ini hendak membongkar kerjasama manis antara gereja dan negara yang melahirkan struktur masyarakat yang tiranik dan menindas. Mereka hendak membersihkan negara dari hegemoni dan pengaruh tokoh-tokoh agama (Katolik).
Oleh karena itu, tiga level sekularisme yang mesti dipahami adalah bahwa pada level filosofis, sekularisme bermakna keyakinan bahwa hidup bisa diatur dengan proses penalaran tanpa mengambil rujukan dari Tuhan atau konsep-konsep supra natural; pada level sosial bermakna anggapan bahwa keyakinan keagamaan bukanlah nilai bersama masyarakat; sedangkan pada level negara atau pemerintahan bermakna kebijakan untuk mencegah pencampuradukan agama dan negara, penghentian diskriminasi antara agama dan penjaminan hak asasi manusia warga negara tanpa memandang agama dan keyakinannya.
Meskipun sekularisme lahir dan besar di Barat, proses penyebaran sekularisme (sekularisasi) belakangan telah menjadikan faham ini menyebar ke hampir seluruh belahan dunia, lebih-lebih setelah runtuhnya komunisme menyusul ambruknya Uni Soviet sebagai negara benteng komunisme. Saat ini, mayoritas negara-negara di dunia, telah menjadi sekular, setidaknya pada salah satu dari tiga level sekularisme tadi.
Sementara itu, puritanisme pada awalnya adalah gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja Inggris pada akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan ini muncul karena, setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol kerajaan Inggris dan kedua, kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum puritan-- dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusan-keharusan yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk memurnikan (purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi rujukan kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan Martin Luther (Jerman). Keduanya adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia berkembang di Amerika, di daerah New England oleh sebab nenek moyang gerakan ini yang menyeberang ke Amerika karena melarikan diri dari pimpinan gereja dan raja Inggris.
Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4. peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.
Dua catatan penting yang harus dicatat disini adalah, pertama, semangat kaum puritan untuk mengembalikan ajaran dan peribadatan kristen ke dan sebagaimana dipraktekkan oleh kaum kristen awal. Kedua, semangat dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik dan mencerahkan anggota-nya agar berpengatahuan luas dan berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika dua hal yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Pertama, mereka digambarkan sebagai tertutup dan fundamentalis. Tetapi, kedua, mereka digambarkan sebagai sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar. Mereka, oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi Amerika.
Laicitè dan Puritan Islam
Laicitè adalah konsepsi yang semakna dengan sekularisme, tetapi aksentuasinya lebih pada sisi politik, yaitu pemisahan lembaga agama (gereja) dari negara dan absennya agama dari urusan-urusan pemerintahan. Konsep ini lahir dan besar di Perancis. Saat ini, konsep laicité telah diterima oleh mayoritas orang Perancis dan telah menjadi konsep inti dari konstitusi Perancis.
Konsep ini melarang agama mengintervensi negara. Agama tidak boleh memasukkan agendanya di ranah negara atau pemerintahan. Sebaliknya, negara dilarang mengadopsi atau berpihak kepada agama tertentu. Negara harus tetap netral terhadap semua agama dan –pada saat yang sama—bersih dari pengaruh agama. Namun demikian, konsep ini tidak mengandung permusuhan terhadap negara. Ia tetap memberikan kebebasan pemeluk agama untuk menganut dan mengamalkan agamanya. Yang hendak dijaga oleh konsep ini adalah agar agama tetap berada di ranah privat, tidak masuk dan berkuasa di ranah publik.
Laicité lahir dari konflik pahit yang terjadi berabad-abad antara masyarakat dan agama selama revolusi Perancis (mulai 1789). Revolusi yang hendak mengeluarkan agama dari menghegemoni ruang publik, meski telah dimulai sejak abad ke-18, baru berhasil pada 1905 dalam bentuk pemisahan total antara gereja dan negara. Dari latar belakang historis ini, banyak pemikir, melihat Laicité bersikap lebih keras terhadap agama ketimbang sekularisme (bandingkan dalam contoh kontemporer antara Perancis dan Inggris dalam kasus pelarangan jilbab) karena pendekatan dan aksentuasinya yang bersifat politik.
Sementara itu, meskipun jelas bahwa puritanisme adalah istilah yang lahir dalam konteks sejarah barat, khususnya Inggris dan menyangkut pengalaman agama Kristen, banyak orang mencoba mencari padanannya pada pengalaman agama dan dunia Islam. Identifikasinya dilakukan dengan mencari persamaan antara gerakan puritanisme pada konteks aslinya dengan gerakan yang memiliki semangat serupa di dunia Islam. Ditemukanlah kemudian gerakan Salafyyah, Wahabiyah dan gerakan-gerakan Islam politik di berbagai negara Arab dan Islam.
Gerakan Salafiyah hendak memurnikan ajaran islam dari apa yang mereka sebut bid’ah dan kembali kepada dua sumber utama Islam: al-Qur’an dan as-Sunnah. Rujukan sosiologisnya adalah apa yang hidup dan dianut pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aspek inilah yang menjadikan gerakan ini disebut Puritan Islam. Sebagai sebuah mazhab pemikiran, gerakan ini bisa dirujuk kepada Ibnu Taymiyah. Namun sebagai sebuah gerakan sosial, politik dan intelektual sekaligus, gerakan ini bisa dirujuk pada akhir abad ke-19 kepada tokoh-tokoh semacam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Pada masanya, gerakan ini hendak membersihkan umat Islam dari karat peradaban dan membangunkannya untuk berjuang melawan penjajahan (dalam konteks Mesir, perlawanan terhadap Inggris).
Sementara itu, Wahabiyah dipelopori pada abad ke-18 oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di semenanjung Arab. Gerakan ini meyakini keharusan untuk kembali secara harfiyah kepada Islam yang asli (versi mereka), Islam yang sederhana dengan ritual yang sederhana. Mereka menolak pemahaman Islam yang mengaitkannya dengan konteks sejarah dan rasionalitas. Islam menurut kelompok ini adalah apa yang tertulis di kitab suci dan di hadits Rasulullah, tanpa perlu ditafsir-tafsirkan lagi. Bersamaan dengan berdirinya rezim Abd al-Aziz ibn Saud di awal abad ke-20, wahabiyah menjelma menjadi ideologi dan pilihan cara beragama negara Saudi Arabia.
Pertarungan Barat vs Islam (Politik)
Jika boleh disederhanakan, dua entitas: sekularisme dan laicité di satu pihak; dan puritanisme dan Puritan Islam di pihak lain, memiliki ide, visi dan tujuan yang berlawanan arah. Sekularisme dan laicité hendak mengatur dunia ini dengan cara profan, mengurus negara dengan akal semata dan ujung-ujungnya memisahkan detil-detil kehidupan dari nilai-nilai sakral yang bersumber dari Tuhan. Sementara puritanisme dan Puritan Islam hendak merevitalisasi peran agama dalam kehidupan, menerapkan perintah-perintah agama baik dalam urusan privat maupun publik dan memperjuangkan tegaknya sebuah negara (dalam kasus Islam Politik: Khilafah) yang akan mengatur segala aspek kehidupan manusia berdasarkan hukum Tuhan.
Entitas pertama, sekularisme, diusung oleh Barat sebagai nation-state dan negara-negara bekas jajahan yang tersekularkan. Sedangkan entitas kedua diusung gerakan-gerakan Islam politik (al-Qaidah, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban dll) yang belakangan, setidaknya sejak September 2001, menunjukkan tren menanjak dan kekuatan yang sangat dahsyat. Memang terasa tidak fair, untuk membatasi pembicaraan tentang puritanisme dan puritanisasi, dalam konteks ini, pada fenomena Islam politik. Namun untuk melihat konflik yang mewarnai dunia sekarang dan ke depan, penghadapan Barat dan Islam Politik menjadi valid.
Dua kelompok yang berhadapan frontal ini, sebagaimana kita amati setidaknya lima tahun belakangan, menunjukkan bahwa keduanya bersiap untuk mengarungi perang panjang. Barat yang dimotori Amerika dan Inggris menunjukkan sikap keras dan gigih untuk mempertahankan prinsip-prinsipnya. Setelah perang Afghanistan dan Iraq, Amerika bersiap untuk meluncurkan apa yang disebutnya sebagai proyek demokratisasi di Timur Tengah; sebuah proyek yang termasuk dalam kerangka menyusun peta baru Timur Tengah Raya (as-Syarq al-Awsath al-Kabir).
Sementara itu, kelompok Islam Politik, meskipun digempur dengan kekuatan militer di dua perang terakhir, Afghanistan dan Iraq, belum menunjukkan tanda-tanda kehabisan nafas. Bahkan, ancaman yang mereka lancarkan terhadap Amerika dan sekutunya, sebagaimana yang hampir setiap hari terjadi di Iraq dan pengeboman London yang terjadi belum lama, tetap menjadikan Barat sebagai target operasi nomor wahid. Dari persembunyiannya, secara bergantian, Osama bin Laden dan Ayman adz-Dzawahiri, pucuk pimpinan al-Qaidah, tampil di layar kaca menegaskan konsistensi mereka untuk perang panjang melawan Amerika dan para sekutunya.
Tak pelak, kisah dunia kita kini dan ke depan adalah kisah pertarungan kedua kekuatan ini. Keduanya, dengan caranya masing-masing, siap untuk mengarungi perang total. Dan yang pasti, nyawa rakyat sipil yang menjadi korban akan terus berjatuhan. Oleh karena itu, untuk membaca tata dunia dan memprediksi masa depan kita, kedua variabel mesti kita masukkan dalam perenungan. Yang terpenting sekarang ini adalah jawaban atas sebuah pertanyaan: Adakah jalan keluar dari jalan buntu dan lingkaran setan kekerasan ini?.
Islam Moderat, Model Alternatif
Jawaban yang paling mungkin dari pertanyaan terakhir ini adalah Islam Moderat: sebuah model pemahaman dan pengamalan Islam yang memungkinkan umat Islam melakukan dialog dengan hasil peradaban modern untuk mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Proses mengambil dan membuang ini memungkinkan umat Islam untuk tidak menempuh jalan ‘ambil semua atau kehilangan semua’, tetapi menerima institusi dan pranata yang berkembang di masyarakat dan berupaya mentransformasikannya untuk terus menjadi semakin Islami.
Kita bisa mengambil tiga contoh untuk pilihan dan pedekatan ini. Pertama, contoh sukses Partai Pembangunan dan Keadilan Turki (Ak Party) pada Pemilu 2002 dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Partai yang berlatar belakang Islam ini tanpa ragu mengayuh langkah Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa. Prinsip yang dipegangnya adalah penyeimbangan nilai-nilai Islam dengan tuntutan sistem politik sekular dan demokratis. Kedua, contoh Malaysia. Saat ini Malaysia mengundang kekaguman banyak pihak karena dinilai berhasil mentransformasi diri menjadi negeri Islam yang modern. Mahathir Muhammad yang banyak berperan memajukan Malaysia memegang prinsip membasiskan aktifitas politik kepada al-Qur’an yang match dengan banyak capaian dari gerakan pencerahan di Barat.
Ketiga, tentu saja, contoh Indonesia. Betapapun Indonesia masih jauh dari ideal negara-bangsa yang dicita-citakan para founding fathers-nya, namun cara beragama mayoritas orang Indonesia bisa menjadi model alternatif. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia menjadi promotor gigih Islam Moderat yang bisa berdialog dengan barat dan memiliki akar yang kuat di grass root. Modal ini, bahkan menjadi modal diplomasi andalan Indonesia ke dunia Internasional belakangan ini.
Selebihnya, kita juga melihat fenomena semakin dewasanya partai-partai politik yang berlatar belakang Islam. Di banyak negara, partai-partai yang sejatinya masuk dalam kategori Islam Politik ini, mulai masuk ke ranah kekuasaan dan menerima aturan main yang dibuat bersama. Artinya, perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam, kini mulai dipahami tidak hanya dengan memulai dari nol mendirikan negara baru yang bernama negara Islam atau khilafah, tetapi lebih halus dari itu, mengisi wadah yang sudah ada dengan nilai, keteladanan, perundang-undangan dan sistem yang semakin Islami.
Epilog
Kembali ke tema: Sekularisasi dan Liberalisasi, bisa dibilang bahwa tugas sejarah kita adalah bagaimana mencari alternatif-alternatif dari dua arus ekstrem yang bertubrukan ini. Untuk itulah kita ber-seminar dan lokakarya kali ini. Semoga saja, kontribusi kita bisa didengar, dipahami dan dipakai sebagai bahan untuk membangun masyarakat religius yang kita inginkan.
-*-Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Lokakarya "Membangun Masyarakat Religius", Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia (BK-PPI) Se-Timur Tengah dan Sekitarnya, 23-30 Agustus 2005, Qom, Iran.
No comments:
Post a Comment