Monday, December 09, 2013

Membangun Jembatan Peradaban Indonesia-Maroko


Saya di sini hanyalah tukang yang sedang membangun jembatan”.
(Bapak Tosari Wijaya,
Dubes RI untuk Kerajaan Maroko)

Demikianlah inti sambutan Duta Besar RI di Maroko, Bapak Tosari Wijaya, ketika menerima tujuh dosen IAIN Mataram, peserta program Doctoral Research yang diselenggarakan atas kerjasama PIU-IsDB (Project Implementation Unit-Islamic Development Bank) IAIN Mataram dengan  Universitas Ibnu Thufail Kenitra Maroko, 27 Nopember sampai dengan 16 Desember 2013.  
Jembatan yang dimaksud Pak Dubes adalah jembatan peradaban. Itulah juga yang diamini oleh Prof. Dr. Abdelhanine Belhaj, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Ibnu Thufail, pada hari berikutnya ketika menerima delegasi IAIN Mataram. “Kedatangan bapak-bapak ke kampus ini, kami harapkan juga semakin memperkaya pertukaran pengalaman, pemikiran dan kebudayaan dalam rangka memperkuat jembatan peradaban antar kedua negara, Maroko dan Indonesia”, kata Prof. Belhaj.
Kebetulan juga, Kenitra (Qantharah-Qunaithrah), kota dimana Universitas Ibnu Thufail berada berarti jembatan. Kloplah sudah. Pilihan doctoral research IAIN Mataram di kota ini dapat menjadi semacam ikon pewujudan misi membangun jembatan peradaban yang sama-sama diinginkan oleh kedua Negara.
Hubungan Indonesia-Maroko, meski yang satu di ujung timur dan yang satu lagi di ujung barat dunia Islam, telah terjalin mesra sejak kunjungan Presiden Soekarno ke Maroko yang disambut hangat oleh Raja Muhammad V. Presiden Soekarno pada masa itu memang menjadi semacam inspirator perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika Utara yang digongi dengan konferensi Asia-Afrika di Bandung, tahun 1955.
Bahkan hingga saat ini, nama “Soekarno” dan “Bandung” diabadikan sebagai nama jalan di pusat kota Rabat, Ibukota Maroko. Warga Negara Indonesia bisa masuk ke Maroko tanpa visa. Mahasiswa Indonesia yang hendak kuliah baik untuk jenjang S1, S2 atau bahkan S3 masih mendapat beasiswa dari agen kerjasama luar, AMCI (Agence Marocain de Cooperation Internationale) di Kementerian Luar Negeri Maroko.
Yang menarik di Maroko ini, semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (S1, S2, S3) tidak dipungut biaya alias gratis. Jadi, mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya di Maroko, bukan persoalan mampu atau tidak, tetapi mau atau tidak. Di Universitas Ibnu Thufail sendiri, seperti penjelasan Prof. Dr. Jamal al-Karkouri, Wakil Dekan bidang penelitian ilmiah dan kerjasama antar lembaga, mahasiswa yang belajar sampai sejumlah 30 ribu mahasiswa, yang 16 ribu-nya belajar di Fakultas Adab dan Humaniora.
Di seluruh penjuru negeri, ada 14 universitas yang melayani pendidikan tinggi secara gratis, bukan hanya untuk anak-anak muda Maroko, tetapi juga dari Negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2001, universitas di Maroko sudah mulai melahirkan doktor asal Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlahnya terus bertambah. Sebagian besar kemudian mengabdikan diri di PTAIN dan PTAIS di Indonesia. Artinya, salah satu perekat jembatan peradaban antar kedua Negara, akan terus menguat dari tahun ke tahun.
Bersamaan dengan itu, kerjasama secara kelembagaan antara kementerian terkait dan perguruan tinggi-perguruan tinggi terus menunjukan tren menguat. Pada saat tim doctoral research IAIN Mataram berada di Maroko inipun, ada banyak tim yang juga berada di Maroko dan tersebar di berbagai universitas baik untuk tujuan recharge keilmuan, sabbatical leave untuk para profesor, penjajakan dan penandatanganan nota kerjasama (MoU-Memorandum of Understanding), dosen tamu (guest lecturer) dan lain-lain.
Pada saat yang sama, kunjungan-kunjungan para intelektual Maroko ke Indonesia, tahun-tahun belakangan juga dilakukan secara reguler. Pada forum AICIS (Annual Islamic Conference on Islamic Studies) yang belum lama diselenggarakan oleh IAIN Mataram, dua wakil dari Maroko datang sebagai pembicara. Pada AICIS tahun sebelumnya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya, wakil Maroko juga hadir sebagai pembicara.
Jika ditarik jauh ke belakang, persambungan Indonesia-Maroko sudah terjalin sejak kedatangan Ibnu Batutah, pengembara muslim asal Tangier Maroko yang datang dua kali ke Nusantara dalam perjalanan ke dan kembali dari China yang diabadikannya dalam buku “Rihlah Ibnu Batutah”. Artinya, berita tentang nusantara sudah dikenal di Maroko jauh sebelum Presiden Soekarno menyambung kembali secara formal dan emosional hubungan Indonesia-Maroko melalui kunjungan bersejarah beliau ke Maroko pada 2 Mei 1960 itu.
Platform hubungan kedua bangsa memang bisa dilihat dan dirasakan langsung pada ciri khas keberagamaan yang secara umum tidak jauh beda antara muslim di Indonesia dan muslim di Maroko. Kedua bangsa muslim ini sama-sama dikenal sebagai muslim yang moderat, toleran, menjaga tradisi keberagamaan secara kuat dengan tetap membuka diri untuk melakukan modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Dalam pengamalan agama Islam, mayoritas muslim di Indonesia dan Maroko sama-sama dikenal sebagai ahlussunnah wal jamaah dengan perbedaan pada mazhab fiqh; Indonesia menganut Mazhab Syafi’i sementara Maroko mengikuti Mazhab Maliki.
Di kalangan pesantren, kitab al-jurumiyah yang ditulis oleh ulama Maroko, Syekh Ajrum, kitab Dala’il al-Khairat yang disusun oleh Syekh  al-Jazuli yang juga ulama Maroko, kitab Muqaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun ketika berdomisili di Fes Maroko adalah kitab-kitab populer yang menjadi bukti betapa pengaruh ulama Maroko di Indonesia sudah ada dan berlangsung sejak lama.
Kalaupun kemudian Presiden Soekarno meminta Raja Muhammad V agar membebaskan warga bangsa Indonesia untuk bisa masuk ke Maroko tanpa visa (begitu juga sebaliknya); kalaupun kemudian Pemerintah Indonesia (Kementerian Agama) menjalin kerjasama erat dengan Pemerintah Maroko terutama dalam bidang pendidikan tinggi; maka itu sebenarnya adalah pengejawantahan dari hubungan kesejarahan dan keilmuan yang sudah berlangsung lama tersebut.
Yang kemudian penting dirumuskan kini dan ke depan adalah –sebagaimana diusulkan juga oleh Prof. Belhaj, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Ibnu Thufail—bagaimana para intelektual, peneliti dan kalangan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia dan rekan-rekan sejawat mereka di Maroko dapat merumuskan agenda-agenda bersama, tema-tema besar yang menyangkut kepentingan umat Islam di Indonesia dan Maroko untuk menjadi perhatian serius yang berkelanjutan dari kedua belah pihak agar hubungan erat antar keduanya dapat melahirkan karya-karya besar dan bermanfaat, bukan sekedar bagi umat Islam di kedua Negara, tetapi juga bagi umat Islam dan umat manusia dimanapun mereka berada.
Inilah makna sangat strategis bagi IAIN Mataram untuk ikut terlibat dan berkontribusi dalam gerak peradaban ini. Kelak IAIN Mataram akan beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Artinya, harus segera ada transformasi keilmuan dan kelembagaan di IAIN Mataram untuk secara layak tampil sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berkontribusi bukan hanya untuk masyarakat NTB, tetapi juga untuk Indonesia dan dunia.

Rabat, 8 Desember 2013



2 comments:

bisnis said...

klik juga http://www.bisnisindonesian.com

indoapkmod said...

Baca Juga cara download game PUBG Mobile mod Unlimited UC, anti banned, tanpa root versi terbaru di KLIK DISINI atau mau cari kumpulan aplikasi dan game mod gratis bisa kunjungi indoapkmod.com