“Saya di
sini hanyalah tukang yang sedang membangun jembatan”.
(Bapak
Tosari Wijaya,
Dubes RI
untuk Kerajaan Maroko)
Demikianlah
inti sambutan Duta Besar RI di Maroko, Bapak Tosari Wijaya, ketika menerima tujuh
dosen IAIN Mataram, peserta program Doctoral Research yang
diselenggarakan atas kerjasama PIU-IsDB (Project Implementation Unit-Islamic Development Bank) IAIN
Mataram dengan Universitas Ibnu Thufail Kenitra
Maroko, 27 Nopember sampai dengan 16 Desember 2013.
Jembatan
yang dimaksud Pak Dubes adalah jembatan peradaban. Itulah juga yang diamini
oleh Prof. Dr. Abdelhanine Belhaj, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Ibnu Thufail, pada hari berikutnya ketika menerima delegasi IAIN
Mataram. “Kedatangan bapak-bapak ke kampus ini, kami harapkan juga semakin
memperkaya pertukaran pengalaman, pemikiran dan kebudayaan dalam rangka memperkuat
jembatan peradaban antar kedua negara, Maroko dan Indonesia”, kata Prof. Belhaj.
Kebetulan
juga, Kenitra (Qantharah-Qunaithrah), kota dimana Universitas Ibnu Thufail
berada berarti jembatan. Kloplah sudah. Pilihan doctoral research IAIN
Mataram di kota ini dapat menjadi semacam ikon pewujudan misi membangun
jembatan peradaban yang sama-sama diinginkan oleh kedua Negara.
Hubungan
Indonesia-Maroko, meski yang satu di ujung timur dan yang satu lagi di ujung
barat dunia Islam, telah terjalin mesra sejak kunjungan Presiden Soekarno ke
Maroko yang disambut hangat oleh Raja Muhammad V. Presiden Soekarno pada masa
itu memang menjadi semacam inspirator perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di
Afrika Utara yang digongi dengan konferensi Asia-Afrika di Bandung, tahun 1955.
Bahkan
hingga saat ini, nama “Soekarno” dan “Bandung” diabadikan sebagai nama jalan di
pusat kota Rabat, Ibukota Maroko. Warga Negara Indonesia bisa masuk ke Maroko
tanpa visa. Mahasiswa Indonesia yang hendak kuliah baik untuk jenjang S1, S2
atau bahkan S3 masih mendapat beasiswa dari agen kerjasama luar, AMCI (Agence
Marocain de Cooperation Internationale) di Kementerian Luar Negeri Maroko.
Yang
menarik di Maroko ini, semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi (S1, S2, S3) tidak dipungut biaya alias gratis. Jadi, mendapatkan pendidikan
setinggi-tingginya di Maroko, bukan persoalan mampu atau tidak, tetapi mau atau
tidak. Di Universitas
Ibnu Thufail sendiri, seperti penjelasan Prof. Dr. Jamal al-Karkouri, Wakil
Dekan bidang penelitian ilmiah dan kerjasama antar lembaga, mahasiswa yang
belajar sampai sejumlah 30 ribu mahasiswa, yang 16 ribu-nya belajar di Fakultas
Adab dan Humaniora.
Di
seluruh penjuru negeri, ada 14 universitas yang melayani pendidikan tinggi
secara gratis, bukan hanya untuk anak-anak muda Maroko, tetapi juga dari
Negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sejak
tahun 2001, universitas di Maroko sudah mulai melahirkan doktor asal Indonesia.
Dari tahun ke tahun, jumlahnya terus bertambah. Sebagian besar kemudian
mengabdikan diri di PTAIN dan PTAIS di Indonesia. Artinya, salah satu perekat
jembatan peradaban antar kedua Negara, akan terus menguat dari tahun ke tahun.
Bersamaan
dengan itu, kerjasama secara kelembagaan antara kementerian terkait dan
perguruan tinggi-perguruan tinggi terus menunjukan tren menguat. Pada saat tim doctoral
research IAIN Mataram berada di Maroko inipun, ada banyak tim yang juga
berada di Maroko dan tersebar di berbagai universitas baik untuk tujuan recharge
keilmuan, sabbatical leave untuk para profesor, penjajakan dan
penandatanganan nota kerjasama (MoU-Memorandum of Understanding), dosen tamu (guest
lecturer) dan lain-lain.
Pada
saat yang sama, kunjungan-kunjungan para intelektual Maroko ke Indonesia,
tahun-tahun belakangan juga dilakukan secara reguler. Pada forum AICIS (Annual
Islamic Conference on Islamic Studies) yang belum lama diselenggarakan oleh
IAIN Mataram, dua wakil dari Maroko datang sebagai pembicara. Pada AICIS tahun
sebelumnya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya, wakil Maroko juga hadir
sebagai pembicara.
Jika
ditarik jauh ke belakang, persambungan Indonesia-Maroko sudah terjalin sejak kedatangan
Ibnu Batutah, pengembara muslim asal Tangier Maroko yang datang dua kali ke
Nusantara dalam perjalanan ke dan kembali dari China yang diabadikannya dalam
buku “Rihlah Ibnu Batutah”. Artinya, berita tentang nusantara sudah
dikenal di Maroko jauh sebelum Presiden Soekarno menyambung kembali secara
formal dan emosional hubungan Indonesia-Maroko melalui kunjungan bersejarah
beliau ke Maroko pada 2 Mei 1960 itu.
Platform hubungan kedua bangsa memang bisa
dilihat dan dirasakan langsung pada ciri khas keberagamaan yang secara umum
tidak jauh beda antara muslim di Indonesia dan muslim di Maroko. Kedua bangsa
muslim ini sama-sama dikenal sebagai muslim yang moderat, toleran, menjaga
tradisi keberagamaan secara kuat dengan tetap membuka diri untuk melakukan
modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Dalam pengamalan agama Islam,
mayoritas muslim di Indonesia dan Maroko sama-sama dikenal sebagai ahlussunnah
wal jamaah dengan perbedaan pada mazhab fiqh; Indonesia menganut Mazhab Syafi’i
sementara Maroko mengikuti Mazhab Maliki.
Di
kalangan pesantren, kitab al-jurumiyah yang ditulis oleh ulama Maroko, Syekh
Ajrum, kitab Dala’il al-Khairat yang disusun oleh Syekh al-Jazuli yang juga ulama Maroko, kitab
Muqaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun ketika berdomisili di Fes Maroko
adalah kitab-kitab populer yang menjadi bukti betapa pengaruh ulama Maroko di
Indonesia sudah ada dan berlangsung sejak lama.
Kalaupun
kemudian Presiden Soekarno meminta Raja Muhammad V agar membebaskan warga
bangsa Indonesia untuk bisa masuk ke Maroko tanpa visa (begitu juga
sebaliknya); kalaupun kemudian Pemerintah Indonesia (Kementerian Agama)
menjalin kerjasama erat dengan Pemerintah Maroko terutama dalam bidang
pendidikan tinggi; maka itu sebenarnya adalah pengejawantahan dari hubungan
kesejarahan dan keilmuan yang sudah berlangsung lama tersebut.
Yang
kemudian penting dirumuskan kini dan ke depan adalah –sebagaimana diusulkan
juga oleh Prof. Belhaj, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Ibnu
Thufail—bagaimana para intelektual, peneliti dan kalangan Perguruan Tinggi
Agama Islam di Indonesia dan rekan-rekan sejawat mereka di Maroko dapat merumuskan
agenda-agenda bersama, tema-tema besar yang menyangkut kepentingan umat Islam
di Indonesia dan Maroko untuk menjadi perhatian serius yang berkelanjutan dari
kedua belah pihak agar hubungan erat antar keduanya dapat melahirkan
karya-karya besar dan bermanfaat, bukan sekedar bagi umat Islam di kedua
Negara, tetapi juga bagi umat Islam dan umat manusia dimanapun mereka berada.
Inilah
makna sangat strategis bagi IAIN Mataram untuk ikut terlibat dan berkontribusi
dalam gerak peradaban ini. Kelak IAIN Mataram akan beralih status menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN). Artinya, harus segera ada transformasi keilmuan
dan kelembagaan di IAIN Mataram untuk secara layak tampil sebagai lembaga
pendidikan tinggi yang berkontribusi bukan hanya untuk masyarakat NTB, tetapi
juga untuk Indonesia dan dunia.
Rabat, 8 Desember 2013
2 comments:
klik juga http://www.bisnisindonesian.com
Baca Juga cara download game PUBG Mobile mod Unlimited UC, anti banned, tanpa root versi terbaru di KLIK DISINI atau mau cari kumpulan aplikasi dan game mod gratis bisa kunjungi indoapkmod.com
Post a Comment