Pendidikan
tinggi Islam di Indonesia berkembang sangat progresif tahun-tahun belakangan
ini. Dalam tahun ini saja (2013), ada 2 IAIN yang beralih status menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri), yaitu IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan IAIN Sunan
Ampel Surabaya; ada 5 STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) akan beralih
status menjadi IAIN, sehingga di seluruh Indonesia, ada 8 UIN, 19 IAIN dan 27
STAIN. Angka-angka ini akan bertambah mencengangkan jika kita juga menghitung PTAIS
(Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Prof.
Dr. Azyumardi Azra menyebut bahwa lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah
yang terbesar jumlahnya di seluruh dunia. Sebagian besar dari lembaga-lembaga
ini dimiliki oleh masyarakat, mandiri secara finansial dan menjadi salah satu
ikon terpenting umat Islam Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan perhatian
dan anggaran negara yang semakin besar untuk pendidikan –termasuk dalam hal ini
pendidikan agama--, maka kontribusi lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama
pendidikan tinggi-nya diharapkan akan terus meningkat, bukan hanya untuk
peradaban Islam di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Dalam
peta persebaran intelektual muslim Indonesia, memang terjadi pergeseran tujuan
dan corak kajian dari masa ke masa. Pada abad ke-18 sampai dengan ke-19 masehi,
tujuan menuntut ilmu agama Islam biasanya adalah tanah hijaz (Mekah-Madinah).
Banyak nama-nama besar ulama nusantara yang belajar dan kemudian menjadi guru besar
di tanah suci ini, semisal Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Arsyad
Banjar, Syekh Yasin Padang dan lain-lain. Beliau-beliau inilah yang melahirkan
kiai-kiai besar yang kemudian menjadi pendiri banyak organisasi dan lembaga
pendidikan Islam di nusantara.
Pada
abad ke-20, primadona baru tujuan belajar Islam adalah Mesir. Universitas
al-Azhar yang terkenal melahirkan banyak ulama dunia Islam di abad ke-20 adalah
tempat mayoritas mahasiswa Indonesia belajar. Alumni-alumni Azhar inilah yang
kemudian mewarnai `corak intelektual keislaman di Indonesia, mulai dari
pembaharuan pembelajaran Bahasa Arab, membumikan al-Qur’an dengan tafsir-tafsir
tematik yang menjawab persoalan-persoalan kontemporer umat Islam di Indonesia
(Prof. Dr. Qurasih Shihab sebagai model) sampai dengan begitu banyak alumi
al-Azhar yang terjun ke dunia pendidikan tinggi Islam dan pesantren-pesantren
di Indonesia.
Sejalan
dengan pertumbuhan kelas menengah muslim dan pergerakan mobilitas sosial umat
Islam sejak paruh akhir rezim Orde Baru, tujuan-tujuan belajar Islam semakin
variatif dan beraneka corak. Peran Kementerian Agama, terutama sejak era
Menteri Agama Munawir Sjadzali, juga besar dalam hal ini. Kala itu, sudah ada
langkah-langkah sistematis Departemen Agama RI melahirkan
intelektual-intelektual muslim dengan mengirim mahasiswa-mahasiswa berprestasi
untuk belajar Islam, baik ke barat (Amerika, Eropa) atau ke Timur Tengah.
Salah
satu tujuan baru belajar Islam di Timur Tengah adalah Maroko. Banyak hal
menarik yang menjadikan negeri ini belakangan ini menjadi primadona baru tujuan
belajar Islam. Sebabnya antara lain adalah: Pertama, kedekatan pemahahaman
dasar dan perilaku keagamaan antara kedua bangsa. Sebagaimana diketahui, muslim
Indonesia adalah muslim sunni sebagaimana juga muslim Maroko. Yang berbeda
adalah mazhab fiqh-nya: Indonesia, mazhab syafi’i, Maroko, mazhab maliki. Kedua,
hubungan kedua negara dengan demikian bukan sekedar diplomatik, tetapi
kebudayaan dan keagamaan. Kemudahan keluar masuk Maroko (tanpa perlu visa) juga
mengundang banyak pihak di Indonesia, terutama para mahasiswa, peneliti atau
bahkan pelancong tertarik datang ke Maroko.
Dari
aspek daya tarik daya tarik dalam bidang keilmuan, Maroko setidak-tidaknya
memiliki dua keunggulan; Pertama, karena posisinya yang dekat dengan
Eropa, para intelektual Maroko menyerap dengan sangat baik filsafat eropa dari
sejak zaman renaissance di Italia sampai dengan kebangkitan filsafat
bahasa di Perancis. Akibatnya, kajian-kajian filsafat berkembang dengan sangat
baik di Maroko. Kedua, di bidang kajian hukum Islam, teori maqashid
yang dilahirkan kembali oleh Imam Syathibi di abad ke-8 Hijriyah juga
berkembang pesat di Maroko. Teori ini semakin terkenal secara internasional
belakangan ini di tangan pemikir seperti Prof. Jasser Audah yang pernah mengisi
seminar internasional di Mataram beberapa waktu yang lalu.
Sisi
lain yang sifatnya intrumental tetapi sangat strategis dan menarik adalah
peluang emas para pelajar di Maroko untuk bisa menguasai Bahasa Perancis.
Karena Maroko termasuk negara francophone (negara-negara berbahasa
Perancis), maka persoalan bisa tidak bisa berbahasa Perancis, lagi-lagi, adalah
soal mau atau tidak mau. Di Indonesia sendiri, intelektual muslim yang fasih
berbahasa Arab sekaligus Perancis bisa bisa dihitung dengan jari. Kenapa bahasa
Perancis penting?, karena banyak kajian filsafat dan pemikiran Islam
kontemporer (seperti karya-karya Muhammad Arkoun) ditulis dalam Bahasa
Perancis.
Dus,
beberapa agenda bersama yang bisa diseriusi oleh para peneliti di ranah kajian
Islam di Indonesia dan Maroko adalah:
1. Peneguhan dan
promosi kajian-kajian keislaman yang bersifat genuin, moderat tetapi juga
progresif, karena karakter-karakter semacam inilah yang mewakili ruh Islam
sebagai agama universal yang diturunkan sebagai rahmat untuk seluruh umat
manusia.
2. Kajian-kajian
tentang “Islam dan Pluralitas”, baik itu pluralitas agama, kebudayaan, etnis,
bahasa dan seterusnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa eksistensi Indonesia terjaga
salah satunya karena ajaran Bhineka Tunggal Ika; sebagaimana di Maroko,
meskipun hampir seratus persen penduduknya adalah muslim, namun warga negara
yang beragama yahudi mendapatkan hak-hak sipil dan agamanya secara layak dan
penuh kemerdekaan di Maroko.
3. Kajian-kajian di
ranah hukum Islam dengan pendekatan perbandingan mazhab dan teori maqashid
syari’ah. Ada banyak hal yang bisa diserap dari mazhab maliki ini, seperti penggunaannya
terhadap maslahah mursalah dalam penggalian hukum Islam, penggabungan antara
kekuatan nalar dan otoritas teks dalam istidlal (argumentasi hukum) dan
seterusnya.
4. Last but not
least, kajian-kajian
pemikiran dan filsafat Islam yang mengkaji soal-soal seperti tradisi dan
modernitas, agama dan sekularisme, hubungan Islam dan Barat dan –yang
akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di kalangan perguruan tinggi Islam—soal
integrasi dan interkoneksi antar ilmu pengetahuan dapat menjadi agenda bersama
yang sangat menarik dalam kajian bersama intelektual muslim di kedua negara.
Wadah
kelembagaan, agenda-agenda penelitian yang sudah dan sedang berjalan dan niat
baik dari para pemangku kepentingan di kedua pihak sebenarnya sudah ada dan
dalam batas-batas tertentu sudah bekerja. Lembaga persahabatan Indonesia-Maroko
sudah berdiri, baik di Jakarta maupun di Rabat. Kementerian Agama, Duta Besar
dan para civitas akademika di kampus juga sudah berjalan dengan agenda
masing-masing. Yang diperlukan kini dan ke depan adalah mempertemukan stake
holders ini untuk bekerjasama dalam
kajian-kajian keislaman dalam tema-tema yang menjadi kepentingan bersama agar produk
dan pengaruhnya bisa maksimal bermanfaat bukan hanya untuk kedua negara, namun
juga untuk umat Islam di seluruh dunia.
Rabat, 10 Desember 2013