Hari Senin (29/5) dan Selasa (30/5) kemarin, dua putraIndonesia telah berhasil menuntaskan studi programdoktornya. Dr. Subhan Abdullah Acim (Musyarrif-CumLaude) dan Dr. M. Amar Adli (Musyarrif Jiddan-SummaCumlaude) telah 'lahir' menjadi doktor keempat dankelima dari tiga yang lebih dulu telah menuntaskanprogram yang sama: Dr. Torkis Lubis, Dr. Eka PutraWirman dan Dr. Yusuf Siddik.
Selamat untuk anda berdua. Darma bakti anda ditungguoleh masyarakat di Indonesia. Ujian yang sesungguhnyamenanti anda. Al-Muhimm ma Ba'da an-Najah, yangpenting kemudian adalah apa setelah selesai studi.Semoga Allah SWT senantiasa membimbing antum berduauntuk berbuat yang terbaik bagi bangsa Indonesia.
Wednesday, May 31, 2006
Monday, May 15, 2006
Islam dan Budaya Lokal: Dialektika yang Belum Selesai
Kontroversi Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (selanjutnya disebut RUU APP) di jagat publik Indonesia membuka kembali ruang diskusi lebih serius soal kaitan antara Islam dan budaya lokal. RUU APP disinyalir sebagian kalangan sebagai kendaraan Islam untuk memberangus budaya lokal. Makna tersirat yang segera mengemuka dari kontroversi ini adalah: dialektika Islam dan budaya lokal ternyata belum selesai.
Berbeda dengan penyebaran Islam di semenanjung Arab yang revolusioner, dakwah Islam di Nusantara berlangsung dalam proses damai yang evolusioner. Penduduk Nusantara yang sudah eksis dengan agama Budha-Hindu-nya sebelum Islam datang, tidak melihat Islam sebagai ancaman bagi laku tradisi mereka. Islam tidak menyulap mereka untuk berubah 180 derajat dari apa yang mereka praktikan dalam kehidupan sehari-hari. Para penyebar Islam membiarkan prilaku dan institusi budaya yang sudah hidup dan stabil itu tetap berlangsung dengan mencoba mentransformasi ruh, kepercayaan dan keyakinan-keyakinan yang melandasinya.
Bahkan ketika para raja tertarik dengan penampilan elegan para penyebar Islam, mereka menerima agama baru ini. Gelombang Islamisasi Nusantara pun semakin massif dan intensif. Bersamaan dengan melemahnya tiang-tiang kekuasaan kerajaan Majapahit, kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di hampir seluruh pelosok Nusantara. Dari kesultanan Aceh di barat sampai Tidore-Ternate di timur, kerajaan-kerajaan Islam membentang sepanjang Nusantara.
Panorama perkawinan Islam dengan budaya lokal ini adalah fenomena tak terbantahkan dari riwayat sejarah Islam di Nusantara. Wali Songo yang dikenal sebagai pendakwah Islam yang berhasil di Pulau Jawa memilih strategi transformasi nilai ini dengan improvisasinya masing-masing. Hasilnya, Islam mampu bertahan lama di Nusantara dalam harmoni dengan budaya lokal. Pertanyaan yang sekarang kembali mengusik: apakah strategi dan hasil yang dicapai oleh penyebar Islam awal di Nusantara adalah target sementara atau tujuan final?. Lebih menginti: apakah merubah budaya lokal pada aras nilai dan etika hanyalah sasaran antara untuk ujung-ujungnya merubahnya menjadi Islami secara isi dan kulit sekaligus?.
*
Pertanyaan ini belakangan semakin kontekstual di hadapan beberapa fenomena semisal : 1. Maraknya peraturan-peraturan daerah (PERDA) bahkan Undang-undang yang mengadopsi hukum fiqh (syariat) secara harfiah. 2. Semakin derasnya gempuran nilai dan produk budaya barat dengan latar filosofis yang berseberangan dengan nilai warisan di Nusantara. 3. Semakin kuatnya arus gerakan-gerakan Islam (harakah Islamiyah) yang semakin keras menyuarakan kewajiban Indonesia menjadi negara syariat.
Ada satu poros yang harus dibongkar terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu: SEKULARISASI. Membongkar sekularisasi di Indonesia menjadi harus untuk mengurai kesan salah bahwa seolah-olah yang berhadapan adalah Islam dengan agama atau budaya lain. Padahal senyatanya, perbenturan tersebut bisa diwakili oleh tema: perbenturan tradisi (dengan segala agama dan budaya pembentuknya) vs sekularisasi.
Akhir Agustus 2005, dalam Seminar dan Lokakarya Internasional Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia (BK-PPI) Se-Timur Tengah dan Sekitarnya bertema : Membangun Masyarakat Religius di Qom Iran, terungkap bahwa dalam rentang ratusan tahun kolonialisme dan puluhan tahun pasca kemerdekaan, Indonesia telah tersekularkan hampir di seluruh level hidupnya. Satu-satunya yang belum terjadi di Indonesia adalah apa yang disebut Dr. Yudi Latif, Wakil Rektor Universitas Paramadina ---dengan mengutip Donald E. Smith-- sebagai “Polity-Dominance Secularisation”, yaitu sekularisasi yang dipaksakan oleh negara untuk merubah keyakinan, praktik dan struktur keagamaan. Selebihnya, pada bidang hukum, pendidikan, struktur sosial, ekonomi, dan –pada kadar tertentu—basis legitimasi dan identitas kelompok, semuanya telah tersekularkan.
Nusantara yang digambarkan sebaga negeri “gemah ripah loh jinawi”; negeri yang subur, makmur dan sejahtera, terus-menerus dibangkrutkan selama berabad-abad sekularisasi oleh kaum penjajah. Secara ekonomi, selain kekayaan di Nusantara dikuras dan diangkut ke luar negeri, arus perdagangan yang semula bergerak dari negeri “bawah angin” (Nusantara) ke negeri “atas angin” (Champa, China, Eropa) berbalik untuk menyisakan nusatara (selanjutnya, Indonesia) hanya menjadi sekedar penampung arus barang dari utara. Secara pendidikan, sistem madrasah yang lebih menekankan pendidikan nilai, tergantikan oleh sistem sekolahan yang beraksentuasi pada materi. Pada struktur sosial, agama “turun derajat” menjadi sekedar salah satu bagian dari fragmentasi lembaga-lembaga sosial sebagaimana terepresentasi oleh semangat lahirnya Departemen Agama. Sementara itu, hukum yang berlaku adalah hukum Belanda yang tidak sepenuhnya merepresentasi tatanan yang telah hidup berabad-abad sebelumnya dengan agama sebagai unsur utamanya.
Inilah yang menjelaskan mengapa luka bangsa Indonesia, sampai lebih dari separuh abad merdeka masih juga menganga. Bahkan sampai saat ini, bangsa Indonesia masih menjadi kuli di negeri sendiri. Kekayaan dalam negeri diangkut habis-habisan ke luar negeri. Kasus UU Migas yang hanya memberi maksimal 25 % cadangan gas untuk keperluan dalam negeri, kasus kemenangan Exxon Mobil di blok Cepu dan penggalian habis-habisan kekayaan alam Papua oleh Freeport adalah beberapa contoh mutakhir betapa ekonomi kita belum beranjak dari kerangka zaman penjajahan. Ketidakmandirian di bidang ekonomi ini berkelindan dengan ketidakmandirian di bidang politik, budaya dan pendidikan.
Ketika kondisi bangsa tidak bertambah baik secara prinsipiil dalam segala lini kehidupannya, yang terjadi kemudian adalah arus balik. Rakyat kembali membuka ingatan sejarah untuk melihat bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh menyimpang dari keharusan sejarahnya. Rupanya segala resep sekular yang kolonialis itu tidak mampu menaikkan derajat kehidupan bangsa kita. Bahkan kecenderungan belakangan, apapun bisa masuk ke tanah air tanpa keberdayaan lembaga-lembaga negara untuk menyaringnya. Contoh terbaru adalah penerbitan majalah Playboy yang tidak bisa dihentikan oleh aparat pemerintah meskipun jelas-jelas bakal merusak moral bangsa.
Arus balik ini sebenarnya tidak khas Indonesia. Untuk menarik benang merah di aras internasional, kita bisa menyebut kasus kemenangan Partai Keadilan di Turki, kemenangan Hamas di Palestina, raihan kursi yang cukup signifikan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kekuatan menanjak Partai al-Adalah wa at-Tanmiyah di Maroko. Apalagi belakangan kita disuguhkan pemandangan menarik, bagaimana perlawanan simbolik Iran terhadap pusat-pusat kekuatan sekularisme. Intinya, sedang dan akan terus ada perlawanan terhadap pembangkrutan yang dilakukan oleh kekuatan kolonialis yang menjadikan sekularisasi sebagai salah satu alatnya.
*
Dalam buku-nya, Spirit Peradaban Islam (Ruh al-Hadlarah al-Islamiyah), Syekh Muhammad Fadil Bin Asyur, intelektual terkemuka Tunisia, mengingatkan satu jebakan yang sering tak terbaca dalam gerakan arus balik ini, yaitu : menangkap kulit dengan melupakan isi.
Misalnya, banyak orang kini ‘berteriak’ tentang solusi Khilafah Islamiyah atau penerapan Syariat Islam yang problematik itu. Padahal inti masalahnya bukan di situ. Penggerak utama peradaban Islam (sebagaimana dipraktikkan dengan sempurna pada abad pertama perluasan wilayah Islam) bukan pada bentuk khilafah, kerajaan atau keemiran, tetapi komitmen dan orientasi. Titik awal kemunduran peradaban Islam bukan terletak pada pergeseran bentuk khilafah ke bentuk kerajaan, tetapi pada perubahan dari komitmen moral-keimanan menjadi komitmen politik-kekuasaan.
Yang mesti dilakukan sekarang adalah mengembalikan komitmen pertama itu sebagai driving force gerak sejarah bangsa Indonesia kini dan ke depan. Fokus perhatian bukan terutama kepada bentuk luarnya tetapi pada substansi dan driving force-nya.
Dari perspektif ini, dialektika Islam dan budaya lokal di Indonesia akan terus berlangsung. Tidak ada yang perlu dirisaukan tentang hal itu. Biarkanlah dialektika itu menghasilkan sintesa-sintesa baru sesuai kebutuhan sejarah bangsa kita. Sekali lagi yang harus terus kita usahakan, bagaimana menjadikan rakyat dan penguasa negeri ini terus mentransformasi komitmennya dari interest keduniaan (ekonomi, politik, kekuasaan) menjadi interest keakhiratan (iman, moralitas, amal saleh, maslahah ‘ammah).
Soal bentuk, sebaiknya kita serahkan pada kecerdasan kreatifitas (ijtihad) kolektif bangsa Indonesia. Kelak, Indonesia akan maju dari usaha gigihnya sendiri. Semoga tidak terlalu lama lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)