Judul Buku : Al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri
Penulis : Dr. Thaha Abdurrahman
Penerbit : Al-Markaz ats-Tsaqafi al-Islami , Casablanca
Tahun Terbit : 2005, Cetakan I
Jumlah Halaman : 320
Buku yang kita bedah ini adalah respon langsung Dr. Thaha Abdurrahman terhadap unilateralisme Amerika. Unilateralisme ini ditandai dengan berkembangnya wacana benturan peradaban (Clash of Civilization), perang Afganistan dan Irak dengan dalih memerangi terorisme dan proyek Amerika untuk menata ulang peta timur tengah dan dunia Islam secara umum melalui pintu demokratisasi dan reformasi pendidikan.
Setelah keruntuhan Uni Soviet, Amerika menjadi satu-satunya negara super power di dunia. Kekuatannya ini membuatnya merasa sah untuk memaksakan nilai dan pemikirannya agar diadopsi oleh dunia. Ia merasa nilainya adalah nilai universal yang berlaku kapan dan dimana saja. Dr. Thaha menyebut ini sebagai kekerasan pemikiran (al-unf al-fikri) dan membuktikannya dengan bukunya ini sebagai kekeliruan. Sengaja Dr. Thaha memberinya judul: al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri untuk menegaskan bahwa Islam sebagai nilai dan perilaku memiliki paket jawaban yang khas terhadap persoalan zaman ini.
Untuk menjelaskan jawaban ini, Dr. Thaha membutuhkan satu pengantar umum, tiga bab dan penutup. Kekhasan jawaban Islam berdiri di atas dua prinsip: prinsip perbedaan ayat yang melahirkan perbedaan ayat-ayat alam dan prinsip perbedaan manusia yang melahirkan umat-umat yang berbeda. Pada prinsip pertama, sepanjang buku, Dr. Thaha menjelaskan tentang bagaimana cara umat Islam berpikir dan pada prinsip kedua, bagaimana cara umat Islam berperilaku. Menurutnya, berpikir terbagi dua: berpikir tentang dunia yang bisa diindera yang disebutnya an-nadzr al-mulki dan berpikir tentang segala sesuatu dari aspek makna yang disebutnya an-nadzr al-malakuti. Sedangkan, perilaku juga terbagi dua: interaksi antar masyarakat baik dalam hal kebaikan atau keburukan yang disebutnya al-amal at-ta’awuni dan interaksi antar umat hanya dalam hal kebaikan yang disebutnya al-amal at-ta’arufi. Pada dasarnya, umat Islam menggunakan an-nadzr al-malakuti yang menjadi pijakan bagi an-nadzr al-mulki dalam berpikir dan al-amal at-ta’arufi yang menjadi pijakan bagi al-amal at-ta’awuni dalam bertindak atau berperilaku. Yang pertama, melahirkan iman dan yang kedua melahirkan akhlak yang terpuji.
Menurut Dr. Thaha jawaban Islam ini sejalan dengan prinsip-prinsip universalitas. Karena berpikir dengan cara malakuti menuntut seorang muslim untuk memikirkan sebanyak mungkin ayat. Sementara bertindak dengan cara ta’arufi menuntutnya untuk berinteraksi dalam kebaikan dengan sebanyak mungkin umat. Kekhasan jawaban Islam ini, menurutnya, hanya bertentangan dengan kondisi dunia saat ini (al-waqi’ al-kauni) yang didominasi oleh cara berfikir al-mulki dan cara bertindak at-ta’awuni yang dipakai oleh Amerika (pada fase sebelumnya, sejak kelahiran modernitas, oleh Eropa). Cara berpikir dan cara bertindak ini semata tidak butuh iman dan juga akhlak. Oleh karena itu pada bab pertama, Dr. Thaha mengkritik kondisi ini dari prespektif keimanan (bab ini diberinya judul: al-waqi’ al-kauni wa an-naqd al-imani) dan pada bab kedua, beliau mengkritiknya dari prespektif akhlak (bab ini diberinya judul: al-waqi’ al-kauni wa an-naqd al-akhlaqi). Bukan hanya kritik, tetapi Dr. Thaha berijtihad untuk memberikan alternatif Islam bagi tema yang dikritiknya.
Pada bab pertama, boleh dikata, Dr. Thaha membongkar isi kepala dan perilaku pongah Amerika yang paling mewakili kondisi dunia kontemporer. Ada tiga fokus perhatian disini: Pertama, menegaskan bahwa benturan nilai itu sebenarnya adalah penyakit internal yang dialami nilai-nilai Amerika yang dijangkitkannya ke luar untuk juga mencakup nilai-nilai dari umat lain. Kedua, menegaskan bahwa ada usaha sistematis dan berkelanjutan untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, pada fase kolonialisme fisik oleh Eropa dan kini oleh Amerika. Usaha itu, adalah istilah Dr. Thaha disebut: al-istitba’, at-takhrib, at-tanmith dan at-talbis. Semuanya dalam konteks nilai-nilai. Ketiga, usaha Amerika (intelektual dan pemerintahnya) untuk mengunggulkan nilai-nilai Amerika di hadapan nilai-nilai umat lain. Meskipun Dr. Thaha membuktikan, dengan analisisnya terhadap pernyataan 60-an intelektual Amerika yang menjustifikasi perang terorisme, kesalahan argumentasi mereka dalam membangun kesimpulan-kesimpulan mereka. Semua ini adalah refleksi dari eliminasi cara berfikir malakuti dalam ‘kamus’ pemikiran mereka.
Pada bab kedua, Dr. Thaha berbicara tentang penyakit akhlak yang dialami oleh kondisi riil dunia saat ini. Ada tiga tangga yang bersambung disini. Pertama, pada kondisi ketika perbedaan pemikiran masih bisa hidup, ada penyakit yang muncul yaitu wiqahat al-isti’la’, yaitu ketidakmauan untuk mengambil pelajaran dari nilai-nilai umat lain, meskipun hak mereka untuk berbeda tetap dihormati. Kedua, kondisi dualitas, seperti yang kini dipakai oleh Amerika, yang membagi umat dunia pada kami (kawan) dan mereka (lawan). Kondisi ini melahirkan penyakit wiqahat al-inkar, yaitu tidak mengakui hak umat lain untuk berbeda dengan nilai-nilai khasnya. Ketiga, kondisi monolitas yang terwakili oleh globalisasi. Globalisasi meniadakan, bahkan, hak hidup nilai yang berbeda (wiqahat al-ijtitsats). Nilai yang berhak hidup adalah nilai yang didiktekan oleh globalisasi. Nilai Islam yang ditawarkan oleh Dr. Thaha untuk keluar dari penyakit ini ialah prinsip malu (mabda’ al-haya’) pada tangga pertama, prinsip perjuangan akhlak (al-jihad al-akhlaki) pada tangga kedua dan prinsip kearifan (mabda’ al-hikmah) pada tangga ketiga.
Pada bab ketiga, Dr. Thaha menunjukan kapasitas kepemikirannya. Bab ini merupakan penjelasan lebih jauh dari dua jawaban Islam di muka: Iman yang dihasilkan oleh an-nadzr al-malakuti dan akhlak yang dibuahkan oleh al-amal at-ta’arufi. Bab ini diberinya judul: Taf’il al-Iman wa Ta’shil al-Akhlaq. Menurutnya, iman yang semata dihasilkan oleh pemikiran malakuti tidak cukup karena ia bisa menjadi sangat biasa sebagai keyakinan yang dihasilkan oleh pemikiran mulki. Iman harus diefektifkan dengan melaksanakan atau mempraktekkan ritual agama. Oleh karena itu, menurut beliau, pengefektifan atau penguatan ini harus dilakukan dengan dua macam jihad yang oleh beliau dinamakan al-jihad al-i’tiadi dan al-jihad al-irtiqa’i. Al-Jihad al-i’tiadi menurutnya adalah usaha biasa untuk menghindarkan manusia terjerembab ke kondisi tidak beda dengan hewan. Untuk menguatkan iman, seseorang butuh jihad yang lebih tinggi, yaitu al-jihad al-irtiqa’i: jihad yang timbul dari ruh dan mengaplikasikan nilai-nilai yang luhur dan perbuatan sehari-hari. Jihad ini membuahkan pendekatan diri kepada Allah dan kondisi seseorang yang eksistensi selalu bersambung dengan sang pencipta. Iman seperti ini disebut Dr. Thaha dengan al-iman al-malakuti al-hayy. Sedangkan berkaitan dengan penguatan akhlak, Dr. Thaha mengajukan jihad yang lebih tinggi lagi yaitu al-jihad al-iktimali: yaitu jihad yang melahirkan kesucian pada segala perbuatan pelakunya karena ia bersambung, pertama, dengan perbuatan-perbuatan Allah (af’al) dan, terakhir, dengan zat Allah. Disinilah, menurut Dr. Thaha, puncak universalitas (kauniyah) Islam itu, karena ia tidak hanya mencakup dunia kini tapi dunia kapan saja, tidak hanya alam manusia tapi alam apa dan siapa saja.
Dua kelebihan utama Dr. Thaha, pada karya ini dan juga karya-karyanya sebelunya: Pertama, kekuatan logika (manthiq), melahirkan istilah-istilah dan membuahkan konsep-konsep. Kedua, kekuatan bahasa. Bahasa Arab-nya mengingatkan kita dengan karya-karya ulama pada masa keemasan Islam, bukan bahasa arab yang sudah sedemikian kental unsur masukan (dakhil)-nya. Kemampuan bahasa ini jugalah yang memberinya keluasan referensi dengan bacaan karya-karya dalam bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan lain-lain. Keunggulan metodologis dan penyajian buku juga terlihat pada jarangnya –atau bahkan hampir tidak ada—kutipan-kutipan langsung yang kadang mengganggu kenikmatan membaca. Karya Dr. Thaha, saya kira, lahir setelah bacaan-bacaannya dikawinkan dengan perenungangannya dalam sublimasi kreatif yang ujung-ujung melahirkan karya bagus.
Catatan kritik, barangkali, ialah jarak yang masih terlalu jauh antara pemikiran-pemikiran Dr. Thaha dengan kenyataan, meskipun sudut pandangnya adalah “apa yang seharusnya ada” bukan “apa yang senyatanya ada”. Siapakah misalnya yang hendak mendirikan universitas dunia dan media berskala besar untuk mempersiapkan kader dan menyebarkan jawaban Islam terhadap persoalan zaman, sebagaimana yang beliau usulkan?. Meskipun beliau berbicara tentang Islam yang indah di konsep, tetapi bagaimana gerangan melampaui keadaan umat Islam, yang beliau akui sendiri, yang lemah dan dilemahkan, baik dari sisi politik, ekonomi, apalagi media. Bagaimana mungkin menyebarkan nilai dan konsep Islam tanpa atmosfer yang mendukung ke arah itu?. Catatan lain, tentu masih bisa kita kembangkan. Yang jelas, bagi anak muda yang suka berpikir dan bergerak, buku ini layak menjadi bacaan wajib.
* Tulisan ini disampaikan sebagai pengantar Bedah Buku, Departemen Pengembangan Keilmuan dan Sumber Daya Insani PPI Maroko 2005-2006, 26 September 2005