Friday, December 13, 2013

Agenda Bersama Studi Islam Indonesia-Maroko

Pendidikan tinggi Islam di Indonesia berkembang sangat progresif tahun-tahun belakangan ini. Dalam tahun ini saja (2013), ada 2 IAIN yang beralih status menjadi UIN (Universitas Islam Negeri), yaitu IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan IAIN Sunan Ampel Surabaya; ada 5 STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) akan beralih status menjadi IAIN, sehingga di seluruh Indonesia, ada 8 UIN, 19 IAIN dan 27 STAIN. Angka-angka ini akan bertambah mencengangkan jika kita juga menghitung PTAIS (Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebut bahwa lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah yang terbesar jumlahnya di seluruh dunia. Sebagian besar dari lembaga-lembaga ini dimiliki oleh masyarakat, mandiri secara finansial dan menjadi salah satu ikon terpenting umat Islam Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan perhatian dan anggaran negara yang semakin besar untuk pendidikan –termasuk dalam hal ini pendidikan agama--, maka kontribusi lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama pendidikan tinggi-nya diharapkan akan terus meningkat, bukan hanya untuk peradaban Islam di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Dalam peta persebaran intelektual muslim Indonesia, memang terjadi pergeseran tujuan dan corak kajian dari masa ke masa. Pada abad ke-18 sampai dengan ke-19 masehi, tujuan menuntut ilmu agama Islam biasanya adalah tanah hijaz (Mekah-Madinah). Banyak nama-nama besar ulama nusantara yang belajar dan kemudian menjadi guru besar di tanah suci ini, semisal Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Yasin Padang dan lain-lain. Beliau-beliau inilah yang melahirkan kiai-kiai besar yang kemudian menjadi pendiri banyak organisasi dan lembaga pendidikan Islam di nusantara.
Pada abad ke-20, primadona baru tujuan belajar Islam adalah Mesir. Universitas al-Azhar yang terkenal melahirkan banyak ulama dunia Islam di abad ke-20 adalah tempat mayoritas mahasiswa Indonesia belajar. Alumni-alumni Azhar inilah yang kemudian mewarnai `corak intelektual keislaman di Indonesia, mulai dari pembaharuan pembelajaran Bahasa Arab, membumikan al-Qur’an dengan tafsir-tafsir tematik yang menjawab persoalan-persoalan kontemporer umat Islam di Indonesia (Prof. Dr. Qurasih Shihab sebagai model) sampai dengan begitu banyak alumi al-Azhar yang terjun ke dunia pendidikan tinggi Islam dan pesantren-pesantren di Indonesia.
Sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah muslim dan pergerakan mobilitas sosial umat Islam sejak paruh akhir rezim Orde Baru, tujuan-tujuan belajar Islam semakin variatif dan beraneka corak. Peran Kementerian Agama, terutama sejak era Menteri Agama Munawir Sjadzali, juga besar dalam hal ini. Kala itu, sudah ada langkah-langkah sistematis Departemen Agama RI melahirkan intelektual-intelektual muslim dengan mengirim mahasiswa-mahasiswa berprestasi untuk belajar Islam, baik ke barat (Amerika, Eropa) atau ke Timur Tengah.  
Salah satu tujuan baru belajar Islam di Timur Tengah adalah Maroko. Banyak hal menarik yang menjadikan negeri ini belakangan ini menjadi primadona baru tujuan belajar Islam. Sebabnya antara lain adalah: Pertama, kedekatan pemahahaman dasar dan perilaku keagamaan antara kedua bangsa. Sebagaimana diketahui, muslim Indonesia adalah muslim sunni sebagaimana juga muslim Maroko. Yang berbeda adalah mazhab fiqh-nya: Indonesia, mazhab syafi’i, Maroko, mazhab maliki. Kedua, hubungan kedua negara dengan demikian bukan sekedar diplomatik, tetapi kebudayaan dan keagamaan. Kemudahan keluar masuk Maroko (tanpa perlu visa) juga mengundang banyak pihak di Indonesia, terutama para mahasiswa, peneliti atau bahkan pelancong tertarik datang ke Maroko.  
Dari aspek daya tarik daya tarik dalam bidang keilmuan, Maroko setidak-tidaknya memiliki dua keunggulan; Pertama, karena posisinya yang dekat dengan Eropa, para intelektual Maroko menyerap dengan sangat baik filsafat eropa dari sejak zaman renaissance di Italia sampai dengan kebangkitan filsafat bahasa di Perancis. Akibatnya, kajian-kajian filsafat berkembang dengan sangat baik di Maroko. Kedua, di bidang kajian hukum Islam, teori maqashid yang dilahirkan kembali oleh Imam Syathibi di abad ke-8 Hijriyah juga berkembang pesat di Maroko. Teori ini semakin terkenal secara internasional belakangan ini di tangan pemikir seperti Prof. Jasser Audah yang pernah mengisi seminar internasional di Mataram beberapa waktu yang lalu.
Sisi lain yang sifatnya intrumental tetapi sangat strategis dan menarik adalah peluang emas para pelajar di Maroko untuk bisa menguasai Bahasa Perancis. Karena Maroko termasuk negara francophone (negara-negara berbahasa Perancis), maka persoalan bisa tidak bisa berbahasa Perancis, lagi-lagi, adalah soal mau atau tidak mau. Di Indonesia sendiri, intelektual muslim yang fasih berbahasa Arab sekaligus Perancis bisa bisa dihitung dengan jari. Kenapa bahasa Perancis penting?, karena banyak kajian filsafat dan pemikiran Islam kontemporer (seperti karya-karya Muhammad Arkoun) ditulis dalam Bahasa Perancis.
Dus, beberapa agenda bersama yang bisa diseriusi oleh para peneliti di ranah kajian Islam di Indonesia dan Maroko adalah:
1.      Peneguhan dan promosi kajian-kajian keislaman yang bersifat genuin, moderat tetapi juga progresif, karena karakter-karakter semacam inilah yang mewakili ruh Islam sebagai agama universal yang diturunkan sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia.
2.      Kajian-kajian tentang “Islam dan Pluralitas”, baik itu pluralitas agama, kebudayaan, etnis, bahasa dan seterusnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa eksistensi Indonesia terjaga salah satunya karena ajaran Bhineka Tunggal Ika; sebagaimana di Maroko, meskipun hampir seratus persen penduduknya adalah muslim, namun warga negara yang beragama yahudi mendapatkan hak-hak sipil dan agamanya secara layak dan penuh kemerdekaan di Maroko.
3.      Kajian-kajian di ranah hukum Islam dengan pendekatan perbandingan mazhab dan teori maqashid syari’ah. Ada banyak hal yang bisa diserap dari mazhab maliki ini, seperti penggunaannya terhadap maslahah mursalah dalam penggalian hukum Islam, penggabungan antara kekuatan nalar dan otoritas teks dalam istidlal (argumentasi hukum) dan seterusnya.
4.      Last but not least, kajian-kajian pemikiran dan filsafat Islam yang mengkaji soal-soal seperti tradisi dan modernitas, agama dan sekularisme, hubungan Islam dan Barat dan –yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di kalangan perguruan tinggi Islam—soal integrasi dan interkoneksi antar ilmu pengetahuan dapat menjadi agenda bersama yang sangat menarik dalam kajian bersama intelektual muslim di kedua negara.
Wadah kelembagaan, agenda-agenda penelitian yang sudah dan sedang berjalan dan niat baik dari para pemangku kepentingan di kedua pihak sebenarnya sudah ada dan dalam batas-batas tertentu sudah bekerja. Lembaga persahabatan Indonesia-Maroko sudah berdiri, baik di Jakarta maupun di Rabat. Kementerian Agama, Duta Besar dan para civitas akademika di kampus juga sudah berjalan dengan agenda masing-masing. Yang diperlukan kini dan ke depan adalah mempertemukan stake holders  ini untuk bekerjasama dalam kajian-kajian keislaman dalam tema-tema yang menjadi kepentingan bersama agar produk dan pengaruhnya bisa maksimal bermanfaat bukan hanya untuk kedua negara, namun juga untuk umat Islam di seluruh dunia.

Rabat, 10 Desember 2013

Monday, December 09, 2013

Membangun Jembatan Peradaban Indonesia-Maroko


Saya di sini hanyalah tukang yang sedang membangun jembatan”.
(Bapak Tosari Wijaya,
Dubes RI untuk Kerajaan Maroko)

Demikianlah inti sambutan Duta Besar RI di Maroko, Bapak Tosari Wijaya, ketika menerima tujuh dosen IAIN Mataram, peserta program Doctoral Research yang diselenggarakan atas kerjasama PIU-IsDB (Project Implementation Unit-Islamic Development Bank) IAIN Mataram dengan  Universitas Ibnu Thufail Kenitra Maroko, 27 Nopember sampai dengan 16 Desember 2013.  
Jembatan yang dimaksud Pak Dubes adalah jembatan peradaban. Itulah juga yang diamini oleh Prof. Dr. Abdelhanine Belhaj, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Ibnu Thufail, pada hari berikutnya ketika menerima delegasi IAIN Mataram. “Kedatangan bapak-bapak ke kampus ini, kami harapkan juga semakin memperkaya pertukaran pengalaman, pemikiran dan kebudayaan dalam rangka memperkuat jembatan peradaban antar kedua negara, Maroko dan Indonesia”, kata Prof. Belhaj.
Kebetulan juga, Kenitra (Qantharah-Qunaithrah), kota dimana Universitas Ibnu Thufail berada berarti jembatan. Kloplah sudah. Pilihan doctoral research IAIN Mataram di kota ini dapat menjadi semacam ikon pewujudan misi membangun jembatan peradaban yang sama-sama diinginkan oleh kedua Negara.
Hubungan Indonesia-Maroko, meski yang satu di ujung timur dan yang satu lagi di ujung barat dunia Islam, telah terjalin mesra sejak kunjungan Presiden Soekarno ke Maroko yang disambut hangat oleh Raja Muhammad V. Presiden Soekarno pada masa itu memang menjadi semacam inspirator perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di Afrika Utara yang digongi dengan konferensi Asia-Afrika di Bandung, tahun 1955.
Bahkan hingga saat ini, nama “Soekarno” dan “Bandung” diabadikan sebagai nama jalan di pusat kota Rabat, Ibukota Maroko. Warga Negara Indonesia bisa masuk ke Maroko tanpa visa. Mahasiswa Indonesia yang hendak kuliah baik untuk jenjang S1, S2 atau bahkan S3 masih mendapat beasiswa dari agen kerjasama luar, AMCI (Agence Marocain de Cooperation Internationale) di Kementerian Luar Negeri Maroko.
Yang menarik di Maroko ini, semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (S1, S2, S3) tidak dipungut biaya alias gratis. Jadi, mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya di Maroko, bukan persoalan mampu atau tidak, tetapi mau atau tidak. Di Universitas Ibnu Thufail sendiri, seperti penjelasan Prof. Dr. Jamal al-Karkouri, Wakil Dekan bidang penelitian ilmiah dan kerjasama antar lembaga, mahasiswa yang belajar sampai sejumlah 30 ribu mahasiswa, yang 16 ribu-nya belajar di Fakultas Adab dan Humaniora.
Di seluruh penjuru negeri, ada 14 universitas yang melayani pendidikan tinggi secara gratis, bukan hanya untuk anak-anak muda Maroko, tetapi juga dari Negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sejak tahun 2001, universitas di Maroko sudah mulai melahirkan doktor asal Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlahnya terus bertambah. Sebagian besar kemudian mengabdikan diri di PTAIN dan PTAIS di Indonesia. Artinya, salah satu perekat jembatan peradaban antar kedua Negara, akan terus menguat dari tahun ke tahun.
Bersamaan dengan itu, kerjasama secara kelembagaan antara kementerian terkait dan perguruan tinggi-perguruan tinggi terus menunjukan tren menguat. Pada saat tim doctoral research IAIN Mataram berada di Maroko inipun, ada banyak tim yang juga berada di Maroko dan tersebar di berbagai universitas baik untuk tujuan recharge keilmuan, sabbatical leave untuk para profesor, penjajakan dan penandatanganan nota kerjasama (MoU-Memorandum of Understanding), dosen tamu (guest lecturer) dan lain-lain.
Pada saat yang sama, kunjungan-kunjungan para intelektual Maroko ke Indonesia, tahun-tahun belakangan juga dilakukan secara reguler. Pada forum AICIS (Annual Islamic Conference on Islamic Studies) yang belum lama diselenggarakan oleh IAIN Mataram, dua wakil dari Maroko datang sebagai pembicara. Pada AICIS tahun sebelumnya di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya, wakil Maroko juga hadir sebagai pembicara.
Jika ditarik jauh ke belakang, persambungan Indonesia-Maroko sudah terjalin sejak kedatangan Ibnu Batutah, pengembara muslim asal Tangier Maroko yang datang dua kali ke Nusantara dalam perjalanan ke dan kembali dari China yang diabadikannya dalam buku “Rihlah Ibnu Batutah”. Artinya, berita tentang nusantara sudah dikenal di Maroko jauh sebelum Presiden Soekarno menyambung kembali secara formal dan emosional hubungan Indonesia-Maroko melalui kunjungan bersejarah beliau ke Maroko pada 2 Mei 1960 itu.
Platform hubungan kedua bangsa memang bisa dilihat dan dirasakan langsung pada ciri khas keberagamaan yang secara umum tidak jauh beda antara muslim di Indonesia dan muslim di Maroko. Kedua bangsa muslim ini sama-sama dikenal sebagai muslim yang moderat, toleran, menjaga tradisi keberagamaan secara kuat dengan tetap membuka diri untuk melakukan modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Dalam pengamalan agama Islam, mayoritas muslim di Indonesia dan Maroko sama-sama dikenal sebagai ahlussunnah wal jamaah dengan perbedaan pada mazhab fiqh; Indonesia menganut Mazhab Syafi’i sementara Maroko mengikuti Mazhab Maliki.
Di kalangan pesantren, kitab al-jurumiyah yang ditulis oleh ulama Maroko, Syekh Ajrum, kitab Dala’il al-Khairat yang disusun oleh Syekh  al-Jazuli yang juga ulama Maroko, kitab Muqaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun ketika berdomisili di Fes Maroko adalah kitab-kitab populer yang menjadi bukti betapa pengaruh ulama Maroko di Indonesia sudah ada dan berlangsung sejak lama.
Kalaupun kemudian Presiden Soekarno meminta Raja Muhammad V agar membebaskan warga bangsa Indonesia untuk bisa masuk ke Maroko tanpa visa (begitu juga sebaliknya); kalaupun kemudian Pemerintah Indonesia (Kementerian Agama) menjalin kerjasama erat dengan Pemerintah Maroko terutama dalam bidang pendidikan tinggi; maka itu sebenarnya adalah pengejawantahan dari hubungan kesejarahan dan keilmuan yang sudah berlangsung lama tersebut.
Yang kemudian penting dirumuskan kini dan ke depan adalah –sebagaimana diusulkan juga oleh Prof. Belhaj, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Ibnu Thufail—bagaimana para intelektual, peneliti dan kalangan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia dan rekan-rekan sejawat mereka di Maroko dapat merumuskan agenda-agenda bersama, tema-tema besar yang menyangkut kepentingan umat Islam di Indonesia dan Maroko untuk menjadi perhatian serius yang berkelanjutan dari kedua belah pihak agar hubungan erat antar keduanya dapat melahirkan karya-karya besar dan bermanfaat, bukan sekedar bagi umat Islam di kedua Negara, tetapi juga bagi umat Islam dan umat manusia dimanapun mereka berada.
Inilah makna sangat strategis bagi IAIN Mataram untuk ikut terlibat dan berkontribusi dalam gerak peradaban ini. Kelak IAIN Mataram akan beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Artinya, harus segera ada transformasi keilmuan dan kelembagaan di IAIN Mataram untuk secara layak tampil sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berkontribusi bukan hanya untuk masyarakat NTB, tetapi juga untuk Indonesia dan dunia.

Rabat, 8 Desember 2013