Wednesday, January 31, 2007

Kebahagiaan

"Perasaan tenteram hampir terus menerus di dalam jiwa". Dr. Adnan Syarif, penulis buku "min ilm an-nafs al-qur'ani", mendefinisikan kebahagiaan.

Menurutnya, kebahagiaan macam ini hanya bisa dicapai ketika seseorang terbebas dari empat penyakit jiwa: komplikasi takut kematian, komplikasi keterkekangan seksual, komplikasi kekurangan fisik dan komplikasi kekurangan materi.

Empat penyakit inilah yang mewabahi manusia abad ke-21 ini. Komplikasi kekurangan materi melahirkan jiwa-jiwa yang kikir; komplikasi kekurangan fisik melahirkan manusia yang tidak pernah menerima diri sendiri; komplikasi keterkekangan seksual melahirkan para pengumbar syahwat dan komplikasi takut kematian melahirkan manusia yang –seperti penderita AIDS- kehilangan imunitas dari serangan penyakit-penyakit jiwa atau raga.

Usaha para ahli jiwa untuk mengobati empat komplikasi ini, menurut Adnan Syarif, banyak yang gagal karena mereka tidak berhasil mengobati akar penyakitnya, yaitu komplikasi takut kematian. Ia menyebut Sigmund Freud, pakar psikoanalisis, sebagai contoh betapa resep pengobatan penyakit jiwa yang ditawarkannya gagal menyentuh akarnya. Selama penghadapan terhadap kematian tidak menemukan solusi yang memuaskan, selama itu pula seseorang tidak bakal terbebas dari penyakit jiwa, ringan atau parah.

Penyikapan Islam terhadap kematian, menurutnya, adalah solusi paling tepat untuk mengurai komplikasi takut kematian itu. Apa sebab?. Karena Islam mengajarkan bahwa kehidupan yang sesungguhnya, bukan di dunia ini, tetapi di akhirat nanti: kehidupan setelah kematian. Maka sebagai alternatif kehidupan sementara ini, Islam meletakkan idealisme untuk meraih kehidupan sebaik-baiknya setelah kematian sebagai prioritas utama seorang muslim.

Akibatnya, segala kondisi jiwa dan raga yang dialami selama di dunia ini, akan didedikasikan sepenuhnya oleh seorang muslim yang benar demi kehidupan setelah kematian. Kematian lantas menjadi semacam pintu gerbang atau jembatan emas untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Inilah sumber ketenteraman yang hampir terus menerus itu. Dan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Cobalah anda membaca buku ini. Saya kira, anda akan menemukan satu perspektif baru yang menjadikan kita enjoy menjalankan hidup ini, apapun situasinya.

Monday, January 29, 2007

Meluas dan Menyempit

Saya kira, lebih banyak orang yang menyempitkan hidupnya ketimbang memperluasnya.

Berapa banyak orang yang melihat bumi ini hanyalah sekedar sebutir kacang hijau di keluasan jagat raya yang lebih banyak misterius ketimbang yang sudah diketahui secara ilmiah?

Berapa banyak orang yang tidak terjebak pada ukuran-ukuran material yang sempit dalam pergaulan kehidupannya untuk memetakan hubungan diri dengan alam, orang lain dan Sang Pencipta?

Berapa banyak orang yang bertahan pada tempurung keterbatasan: pengetahuan, ruang gerak, sumber pencaharian, gapaian spiritual tertentu dan berhenti bergerak atau berhenti melompat untuk meraih cakrawala yang lebih luas dan multi dimensional?

Berapa banyak orang yang memilih kolam kecil yang melenakan ketimbang lautan luas yang menampung apa saja termasuk ciptaan Tuhan yang paling besar di bumi ini?

Berapa banyak orang yang memilih kesenangan sementara dan terbatas di dunia ini dengan mengorbankan kebahagiaan abadi dan tanpa batas di kehidupan akhirat kelak?

Berapa banyak orang yang terjebak pada komplikasi penyakit jiwa yang bernama takut kematian, mengumbar nafsu seksual, memelihara kekikiran dan mengurung diri pada kekurangan-kekurangan jiwa raganya yang seluruhnya menyempitkan hidupnya ketimbang memilih jihad, kehormatan diri, memberi dan menyenangkan sebanyak mungkin orang yang seluruhnya memperluas dan memberikan kebahagiaan hakiki?

Saya kira, lebih banyak yang memilih kesenangan sementara yang menyempitkan ketimbang kebahagiaan langgeng yang meluaskan. Itulah sebabnya, manusia wajib terus belajar sepanjang hidupnya untuk memperluas cara pandangnya sampai pada horizon terluas yang mungkin dicapainya. Lantas, kenapa banyak orang berhenti belajar dan mencari kemapanan-kemapanan? Kemapanan adalah lonceng kematian, sebagaimana darah yang berhenti mengalir menandakan maut yang segera datang menjemput.

Saturday, January 20, 2007

Tahun Baru: Melongok ke Dalam

Apa artinya tahun baru 1428 H bagi umat Islam?

Seperti biasa, tidak terlalu banyak yang peduli dengan tahun baru hijriyah. Tidak ada film dibuat, tidak ada terompet diproduksi, tidak ada jubelan masyarakat di tempat-tempat umum untuk menunggu dan merayakan detik pergantian tahun, tidak ada blow up media besar-besaran. Apakah masih ada yang menjadikan pergantian tahun baru Islam ini sebagai titik perenungan untuk perbaikan?

Entahlah. Paling-paling yang diselenggarakan adalah perayaan seremonial formalitas yang mengusung spanduk SELAMAT TAHUN BARU 1428 H, pidato pejabat dan ceramah secukupnya. Tahun baru Islam seringkali gagal menjadi tonggak perubahan.

Bukankah perubahan mendasar, radikal, reformatif –atau apapun namanya—itu yang sangat didambakan bangsa Indonesia? Perubahan yang gegap gempita diteriakkan di jalan-jalan pada 1998. Yel-yel yang sempat membangkitkan optimisme dan harapan besar bangsa Indonesia untuk kembali bangkit di atas basis yang lebih sehat. Lebih sewindu roda perubahan itu menggelinding terseok-seok dan kini terancam macet atau boleh jadi mundur.

Kalau umat Islam saja dari 200 juta lebih penduduk Indonesia berubah, pasti wajah ibu pertiwi kembali cerah. Tetapi menilik wajah umat Islam Indonesia atau dunia Islam secara umum setahun kemarin menjadikan kita harus menahan nafas optimisme itu. Bagi saya, gambar dunia Islam masih mendung cenderung bergerak ke gelap.

Dari mana kita mesti merunut? Tadinya, terus terang, saya bangga dengan Hizbullah, namun kebanggaan itu segera saja menguap. Kalau saja Hizbullah tetap di posisi menjadi benteng dunia arab atau Lebanon secara khusus dari serangan Israel, seperti yang ditunjukkan pada pertarungan heroik dalam perang 34 hari itu, niscaya simpati bangsa Arab akan tetap dalam genggamannya. Namun sayang, Hizbullah kini bermain day today politic di arena dalam negeri Lebanon dengan mengerahkan massa dan menggunakan simbol-simbol agama. Bulan-bulan belakangan adalah hari-hari pertarungan politik kekuasaan yang mecemaskan dalam konstelasi politik dalam negeri Lebanon.

Bergeser ke Palestina membuat kita bakal menemukan pemandangan yang lebih memilukan. Dalam situasi pendudukan dan terus menjadi target tank-tank dan pesawat tempur Israel, faksi Hamas dan Fatah mulai bertarung terbuka, bahkan dengan kontak senjata. Darah anak bangsa Palestina, mengapa mesti tumpah oleh bedil saudaranya sendiri? Politik kekuasaan memang seringkali membutakan mata hati dan akal sehat.

Iraq adalah cerita tragedi peradaban manusia abad ke-21. Kemarin Amien Rais, mantan Ketua MPR RI itu, menulis (di Kompas) tragedi ini dengan lugas dan menusuk. Setiap hari, nyawa orang-orang tak berdosa melayang disana. Bau mesiu bercampur darah dan kebiadaban menyengat sangat kuat. Bedil Amerika, milisi Jaisy al-Mahdi, kelompok ekstrim Sunni tak henti-henti menyalak mencari mangsa. Situasinya sangat komplikatif. Tidak jelas betul siapa makan siapa. Tahun-tahun ini, saya kira, Iraq masih akan terus terluka.

Kemana lagi kita mesti menoleh? Sudan masih tarik menarik dengan PBB yang hendak menurunkan tentara penjaga perdamaiannya di Darfur yang masih menderita kelaparan. Somalia masih mencekam setelah kekuatan Mahakim dipaksa meninggalkan kekuasaan oleh rezim lama yang kembali dengan bantuan kekuatan Etiopia dan Amerika. Dua negara muslim Afrika ini masih harus berhadapan dengan situasi yang labil.

Rezim yang labil dengan kondisi keamanan dan ekonomi yang carut marut atau rezim yang sangat kuat dengan kontrol yang tidak memungkinkan kekuatan tandingan menjadi dua ciri menonjol negara-negara muslim sampai dengan pergantian tahun ini. Raja Abdullah Saudi Arabia memang terlihat lebih progressif dalam pembangunan sosial ekonomi Arab Saudi. Proyek-proyek ekonomi berskala besar banyak diluncurkan, anggaran pendidikan dinaikkan, santunan sosial masyarakat miskin dinaikkan, bahkan anggaran pembelian alat-alat militer baru juga dicairkan. Ada penyegaran geliat ekonomi yang kentara di Arab Saudi beberapa tahun belakangan. Geliat serupa bisa kita lihat di Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Oman, Kuwait dan Maroko. Namun, semua itu sangat bergantung niat baik raja atau sekelompok penguasa. Ketika raja atau keluarga yang berkuasa berubah atau melampaui batas, siapa yang bisa mengontrol? Tidak ada!. Kalaupun ada, kontrol biasanya sangat lemah.

Tipe kedua ini berlaku juga untuk Mesir, Yordania, Suriah dan Iran dengan pembangunan ekonomi yang lebih lambat. Dua negara terakhir, Suriah dan Iran, menarik untuk diperhatikan karena sangat menentukan konstelasi ketegangan di kawan timur tengah dan sekitarnya. Suriah memang mulai keluar dari titik peran tradisionalnya. Iran lah yang memainkan peran sangat signifikan dalam perubahan konstlasi ini. Suriah yang tadinya termasuk jaringan Mesir, Arab Saudi yang kompromi dengan Amerika, kini lebih dekat ke Iran. Sepak terjang Iran Lebanon, Iran dan ketegangan yang diakibatkan proyek nuklirnya menjadi panorama kental dunia politik-militer-diplomasi di kawasan ini. Saya kira, Iran masih akan bermain waktu dengan retorika melawan melawan hegemoni Amerika tahun-tahun ke depan.

Lantas, apa artinya semua ini bagi umat Islam di tahun barunya?. Terlalu muluk untuk berharap umat Islam bersatu diikat oleh keislamannya untuk dibumikan di dunia realitas. Terlalu banyak palang rintang sejarah yang harus dilompatinya. Kalau memang harus berharap –karena tidak putus asa--, setidaknya tahun ini bisa menggungah bahwa Islam lah harta paling berharga yang kita miliki. Tidakkah kita mencoba untuk kembali mendalaminya buat mengarungi masa depan yang memang tidak mudah?

Thursday, January 18, 2007

Gawat Darurat

Lompatan besar seringkali lahir dari situasi gawat darurat.

Bangsa Belanda menghasilkan insinyur-insinyur konstruksi bendungan nomor wahid di dunia karena mereka harus berjuang mempertahankan hidup. Posisi negeri mereka yang di bawah permukaan laut, membuat negeri mereka setiap saat diintai bahaya terendam air. Situasi gawat darurat memaksa mereka memeras otak untuk ‘menaklukkan’ alam yang ganas. Mereka kini berhasil bersahabat dengan air dengan bendungan-bendungan super canggihnya.

Anis Manshur, penulis kolom harian di Koran As-Syarq Al-Awshat, menyebut bahwa manusia nomaden sangat menguasai seni tidur. Ketika mereka hidup di hutan atau di padang terbuka, hidup mereka setiap saat terancam serangan binatang buas. Mereka menjadi pintar memilih tidur singkat, tidak ngorok, mengajari anak-anak mereka untuk tidak menangis keras di malam hari, dst. Mereka berperilaku disiplin berhadapan dengan situasi gawat darurat.

Israel boleh jadi contoh paling segar. Negeri berpenduduk 5 jutaan orang ini setiap saat mempertaruhkan eksistensinya di harapan negeri-negeri arab berpenduduk 350 jutaan orang. Mereka bekerja keras memperkuat sistem pertahanan, membangun senjata nuklir, menjaga pengaruh lobi internasional dan berhitung stragtegi detik ke detik dengan musuh-musuhnya. Mereka sangat menguasai seni bertarung secara terbuka atau tertutup di panggung politik-militer internasional.

Saya ingin mengatakan, rasa gawat darurat itulah yang hilang, terutama dari pemimpin-pemimpin Indonesia. Ketika bencana datang tanpa henti, kecelakaan darat, laut dan udara menghantam negeri, kemiskinan tak kunjung beranjak dan penyakit fisik dan mental yang masih mewabah, para pemimpin kita masih bersikap biasa-biasa saja, ada yang asyik pesiar ke luar negeri, ada yang sibuk menaikkan gaji dst. Seolah-olah segala sesuatu berjalan dengan baik.

Saya kira, perlu diumumkan situasi gawat darurat ke seluruh penjuru negeri untuk semua level kehidupan kita. Situasi kita tidak biasa. Perlu kerja keras ekstra dari seluruhnya. Kerahkan semua potensi bangsa untuk mengatasi masalah dan melompat setinggi-tingginya. Modal inilah yang dulu menjadi mesin kita meraih kemerdekaan. Tidak bisakah kita menggunakannya kini untuk menaikkan derajat bangsa kita: agar keadilan sosial, kesejahteraan, kecerdasan dan masa depan gemilang, bukan hanya berbusa-busa di mulut para politikus ketika pemilu, tetapi betul-betul dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia.

Bagaimana menurut anda?