Wednesday, July 27, 2005

Pendidikan Maroko Berbenah Menjawab Tantangan Modernitas

Dr. Muhammad Sabila, dalam bukunya: al-Hadatsah wa Ma Ba'da al-Hadatsah, menyebut bahwa negara-negara berkembang tidak bisa memilih untuk menerima atau menolak modernitas. Modernitas, menurutnya, telah dengan tidak tertolak, hadir menjadi bagian nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Logika internal modernitas menuntut dirinya sendiri untuk melakukan penetrasi, intervensi bahkan invasi terhadap dunia di luar dirinya: dunia tradisional.

Dunia tradisional melakukan perlawanan. Dia tidak terima dengan gerakan sapu bersih ala modernitas. Karena prinsip modernitas ialah win or lose, maka kondisinya bagi dunia tradisional ialah be or not to be. Dunia tradisional yang terwakilkan pada tata nilai masyarakat yang mengakar jauh ke masa lalu (ke akar peradaban, agama dan identitas bersama (huwiyyah) sebuah komunitas) mengibarkan bendera 'perang' terhadap imperialisme modernitas. Kalau sepanjang paruh pertama abad ke-20, perang ini berbentuk benturan fisik yang meminta korban nyawa manusia, kini benturan itu berada di level nilai, life style dan perebutan pengaruh terhadap individu masyarakat. Tidak ada negara berkembang di dunia ini yang lepas dari pertarungan ini.

Kisah pertarungan modernitas dan tradisionalitas inilah yang saat ini menjadi judul utama peradaban dunia. Dialektika dua acuan nilai inilah yang kelak hasilnya akan menentukan bagaimana wajah lebih dari separuh belahan dunia. Taruhannya kemudian adalah seberapa mampu negara-negara berkembang mengelola dialektika ini untuk sampai ke titik keseimbangan yang bisa diterima kedua belah pihak: modernitas dan tradisionalitas. Taruhan inilah yang secara sadar ditempuh oleh Maroko di bawah pimpinan Raja Muhammad VI.


***

Pilihan modernisasi Maroko adalah point of no return bagi Raja Muhammad VI. Raja yang berpendidikan Perancis ini hendak menjadikan Maroko negara modern yang tidak kehilangan identitas aslinya. Ruang dan panorama publik di Maroko menjadi saksi bagi pewujudan keinginan ini.

Banyak sumber menyebut bahwa wajah politik era Muhammad VI jauh lebih ramah ketimbang era Hassan II. Perangkat demokratisasi politik pun mulai ditata pada era ini, meskipun masih jauh dari tuntutan demokrasi yang sesungguhnya. Setidaknya, realitas multi partai, pemilu legislatif dan kebebasan pers pada batas-batas tertentu, bisa menjadi contoh penataan perangkat demokrasi. Lebih jauh, perangkat hukum dan perundang-undangan juga diarahkan untuk sesuai (insijam) dengan tuntutan modernitas.

Gerak sistematis ini bukan tanpa penolakan. Namun karena raja memiliki basis legitimasi dan kekuasaan yang sangat kuat, penolakan mau tidak mau berujung pada penerimaan. Contoh yang masih segar adalah polemik seputar undang-undang keluarga (mudawwanah al-usrah). Undang-undang ini, pada tahap rancangan, mengundang reaksi keras sebagian tokoh agama karena dianggap melenceng dari garis syari'at. Ada muadalah besar-besaran terhadap kekuasaan kaum lelaki dalam lingkungan keluarga yang ditimbulkannya. Namun polemik berujung pada pengesahan parlemen karena raja menghendakinya. Raja ingin, fiqh responsif terhadap tuntutan modernitas yang menghendaki pelindungan maksimal terhadap hak-hak perempuan.

Hal senada dialami oleh undang-undang pendidikan. Undang-undang yang sudah disahkan dan kini menghasilkan apa yang disebut sebagai nidzam jadid dalam dunia pendidikan Maroko lahir dalam konteks modernisasi pendidikan Maroko. Semangat modernisasi ini pada tahap rancangan undang-undang mengundang reaksi keras kalangan ulama karena Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab tidak mendapatkan porsi yang semestinya dalam rancangan undang-undang. Mereka merekomendasi agar rancangan ditelaah ulang untuk memasukkan keharusan pendidikan agama terintegrasi sebagai kurikulum wajib dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (bahkan sampai level program doktor).


Berbeda dengan nasib mudawwanah al-usrah, undang-undang pendidikan ini mengakomodasi rekomendasi para ulama dengan tetap memelihara semangat mengintegrasikan jebolan dunia pendidikan dengan tuntutan dunia kerja secara khusus dan tuntutan modernisasi kehidupan di segala bidang secara umum. Apakah buah undang-undang ini akan sesuai harapan?. Waktulah yang bakal membuktikan.

Thursday, July 21, 2005

Doktor Baru

Hari ini, Kamis, 21.07.2005, satu lagi putra Indonesia menuntaskan program S3-nya di Universitas Muhammad V Maroko. Satu lagi doktor baru lahir, dari dua yang sudah lebih dulu. Dr. Muhammad Yusuf Siddik menuntaskan disertasi berjudul: Ibnu al-Mundzir wa Manhajuhu fi Naqd al-Hadits wa al-Istidlal Bih. Dua yang sudah lebih dahulu: Dr. Torkis Lubis (UIN Malang) dan Dr. Eka Putra Wirman (IAIN Padang).

Tahun-tahun ke depan, pendatang baru doktor-doktor jebolan Maroko bakal mewarnai belantika intelektual Indonesia. Saat ini saja, ada sekitar 16 mahasiswa Indonesia yang terdaftar di program doktor. Setiap tahun terus bertambah. Mayoritas, kalau bukan seluruhnya, berprospek berhasil.

Bagi mahasiswa Indonesia di kawasan Timur Tengah, ini adalah fenomena baru. Selama ini, dua sumber yang dikenal melahirkan doktor Indonesia adalah Mesir dan Saudi Arabia. Keduanya, karena tuntutan sistem, butuh waktu lama untuk 'mengerami' calon-calon doktornya sampai 'menetas'. Akibatnya, mereka baru berhasil menuntaskan program doktor-nya ketika usia sudah mendekati senja. Bagaimanapun, faktor usia penting untuk menunjang progresifitas.

Maroko adalah cerita lain. Meskipun mahasiswa Indonesia di Maroko mulai ramai berdatangan sejak paruh akhir tahun delapan puluhan, kontribusi negeri ini, kini mulai kelihatan dengan melahirkan master-master dan doktor-doktor putra bangsa Indonesia. Hebatnya, mereka menuntaskan studinya dengan beasiswa yang disalurkan Agen Kerjasama Internasional Maroko yang mengurus mahasiswa asing.

Tentu saja, ini keuntungan besar bagi bangsa Indonesia. Karena negara yang bernama Indonesia itu, sampai saat ini, belum mampu (atau pasnya belum mau) memberi beasiswa putra-putrinya untuk menuntut ilmu setinggi-tingi-nya di luar negeri.

Yang kita harapkan tentu, doktor-doktor pendatang baru dari Maroko ini, tidak selesai berbangga hati dengan gelar yang mentereng. Tetapi bagaimana mereka bisa memberikan kontribusi yang signifikan bagi nation building di Indonesia. Karena, kita tidak cukup agung hanya dengan melahap ribuan buku tanpa jelas pengaruhnya di bumi realitas.

Selamat Dr. Yusuf, tugas berat menanti anda. Insya Allah, kami yang belum selesai, bakal segera menyusul langkah anda.

Monday, July 18, 2005

Dua Alasan Belajar di Maroko

Apakah keunggulan komparatif belajar di Maroko?. Setidaknya, saya menemukan dua hal: Pertama, peluang besar untuk bisa berbahasa Perancis. Kedua, kesempatan untuk berkenalan lebih intensif dengan kajian-kajian di bidang Ilmu Maqashid dan Pemikiran Islam Kontemporer. Saya menemukan dua hal ini, trade mark yang menjadikan belajar di Maroko lebih unggul ketimbang belajar di negeri-negeri Islam yang lain. Tentu saja, ini dalam konteks belajar ilmu-ilmu keislaman.

Bahasa Perancis sudah menjadi bahasa rakyat di sebagian besar wilayah Maroko. Bahkan di kota-kota tertentu, Bahasa Perancis lebih dominan ketimbang Bahasa Arab. Televisi, radio, koran, majalah, menyediakan banyak menu berbahasa Perancis. Pusat-pusat kebudayaan Perancis, tersebar di setiap kota-kota besar Maroko. Buku-buku dari yang santai sampai yang serius, banyak ditulis dalam bahasa Perancis. Seminar dan ceramah-ceramah ilmiah, banyak dipresentasikan dalam bahasa Perancis. Artinya, bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di Maroko, bisa atau tidak berbahasa Perancis, adalah soal kemauan saja.

Kenapa bahasa Perancis penting?. Banyak alasan. Alasan keilmuannya adalah kita bisa berselancar di dua jalur keilmuan yang belakangan terasa menjadi semakin penting: filsafat dan sastra. Di jalur filsafat, kita bisa menemukan Michel Foucoult, Ferdinand de Saussure, Jean Boudrillard, Derrida dll. Sementara di dunia sastra, setidaknya kita bisa mengenal lebih dekat Victor Hugo dan karya-karyanya. Alasan lebih riil, penguasaan Bahasa Perancis memudahkan kita mencari pekerjaan. Hukum ekonominya mengatakan: ketika persediaan terbatas dan permintaan bertambah, kebutuhan akan tinggi dan harga akan meningkat. Setidaknya, pencari kerja (khususnya di dunia kerja yang berdimensi internasional) di Indonesia yang berbahasa Perancis lebih sedikit ketimbang yang berbahasa Inggris.

Menyangkut keunggulan kedua, Ilmu Maqashid, di Maroko mendapat elaborasi yang serius dan intensif. Ilmu yang meskipun memiliki sejarah panjang sejak zaman Nabi ini, mendapat penjelasan teoiritis-nya pada abad ke-8 hijriyah dalam karya besar Imam as-Syathibi asli Granada: al-Muwafaqat. Kelahiran al-Muwafaqat ibarat kelahiran kedua bagi Ilmu Ushul Fiqh setelah beberapa abad tidak mengalami penyegaran. Ilmu ini memberikan posisi yang proporsional terhadap hikmah yang terkandung dalam sebuah hukum fiqh sebagai pertimbangan fuqaha dalam berijtihad. Komitmen Maroko dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu ini, bukan hanya dalam wujud karya-karya yang terus lahir, tetapi juga dalam perkaderan yang berkesinambungan di dunia perguruan tinggi dengan munculnya program-program studi tentang Ilmu Maqashid as-Syari’ah.

Sedangkan di dunia Pemikiran Islam Kontemporer, kontribusi pemikir-pemikir Maroko mendapat tempat tersediri dalam wacana mutakhir Pemikiran Islam. Rubaiyat Kritik Nalar Arab-nya al-Jabiri; serial logika, etika, dan Filsafat Islam-nya Taha Abdurrahman; kajian Tasawuf, Ushul Fiqh dan Politik Islam-nya Abdul Majid Shugair; elaborasi Filsafat Ilmu dan Epistemologi-nya Salim Yafut dan seterunya, adalah beberapa contoh kontribusi fresh dan kontemporer para intelektual Maroko.

Kenapa mempelajari semua ini penting?. Setidaknya, kita bisa menyikapi dengan kuat dan cerdas kecenderungan ‘dekonstruksi kekanak-kanakan’ yang terus dilancarkan oleh kelompok semacam Islam Liberal di Indonesia. Lebih dari itu, kita bisa memberi alternatif bagi kebuntuan-kebuntuan kajian Islam di Indonesia dalam menghadapi realitas yang terus berkembang dengan cepat. Tentu ini, kalau kita belajar di Maroko untuk mewujudkan sesuatu yang besar, bukan sekedar mengejar ijazah atau sertifikat.

Thursday, July 14, 2005

Manusia Soliter

Kata al-Qur'an: "Katakanlah, 'sesungguhnya aku menasehatimu dengan satu hal saja: menghadaplah kepada Allah berdua atau sendirian (saja) kemudian bertafakkurlah...'".

***

Hari-hari belakangan ini, sosok Soe Hok Gie, kembali disegarkan pada memori publik orang Indonesia. Mira Lesmana dan Riri Reza mengusungnya dalam film terbaru mereka, Gie, yang menelan dana Rp. 7 milyar. Buku Gie: Catatan Harian Seorang Demonstran, adalah satu dari dua buku paling berpengaruh dalam hidup saya. Yang satu lagi adalah: Pergolakan Pemikiran Islam, karya Ahmad Wahib.

Saya kira, dua buku ini masih layak menjadi bacaan wajib anak muda Indonesia. Ada ruh idealisme berkobar-kobar yang ditawarkan oleh keduanya. Keduanya (Gie dan Wahib) adalah sosok anak muda yang melawan arus zaman-nya. Mereka susah diterima lingkungan (sebagaimana sering dikeluhkan Gie) karena dengan penuh keberanian hendak membongkar kemapanan (sosial, politik, agama) yang diadopsi oleh komunitasnya. Mereka mengusung perubahan yang tidak siap diterima oleh kondisi riil masyarakatnya. Dalam istilah Wahib, mereka adalah manusia soliter.

Manusia soliter, sejauh yang saya tangkap, dalam gambaran Wahib adalah manusia yang selalu bergolak, gelisah mencari pemecahan dari masalah-masalah mendasar yang dihadapi komunitasnya (dari lingkaran kecil perkawanan individual sampai lingkaran besar perkawanan kemanusiaan).

Tidak banyak manusia seperti ini. Manusia yang mau minggir dari keramaian untuk menulis peta jalan perubahan buat bangsanya: perubahan yang radikal, perubahan yang revolusioner. Tetapi justru merekalah yang sering dicatat sejarah sebagai kunci perubahan. Lenin misalnya, mesti minggir dulu sebelum memimpin revolusi Rusia. Khomeini, lama di pengasingan, sebelum memimpin revolusi Iran.

Sayang sekali, Gie dan Wahib mati muda. Keduanya belum selesai menggambar bangunan pikirannya. Hanya sketsa awal dalam bentuk buku harian yang sempat mereka tinggalkan. Tapi semangat yang ditinggalkannya, tak lekang dimakan zaman. Pesannya jelas: kita mesti menyediakan ruang hening untuk berfikir jernih dan mendalam tentang diri dan lingkungan sekitar kita. Hanya di atas dasar pikiran yang jelas lah, kita bisa menggerakkan perubahan.

Wednesday, July 13, 2005

Inspiring Writers

Kalau saya ditanya, "siapakah penulis Arab kotemporer yang paling anda sukai?". Tanpa ragu saya akan menyebut tiga nama: Khalish Jalabi, Hasyim Shalih dan Turki al-Hamad. Ketiganya adalah penulis-penulis yang sering muncul di rubrik kolom koran as-Syarq al-Awsath.

Ketiga penulis ini, menurut saya, adalah penulis-penulis yang menginspirasi.

Khalis Jalabi selalu hadir dengan tulisan yang kuat dan memikat: kuat isinya, memikat bahasanya. Kekuatan isinya menggedor otak, sementara gaya bahasanya mengguncang rasa. Penemuan-penemuan mutakhir di dunia ilmu pengetahuan dari astronomi, biologi, kedokteran, geologi, hingga ilmu-ilmu kemanusiaan: sejarah, kebudayaan, bahasa dan seterusnya, hadir memberikan gizi buat penyegar otak. Sementara gaya bahasanya yang sesekali mengintegrasikan ungkapan-ungkapan al-Qur'an di ujung kalimat-kalimatnya berhasil memberikan efek kesan mendalam di hati pembaca. Seperti rasa yang menusuk tenggorokan ketika kita minum Coca Cola, misalnya.

Hasyim Shalih hadir ibarat suluh yang mencoba hadir di tengah gulita. Spesialis penerjemah buku-buku Mohammed Arkoun ke Bahasa Arab ini, hadir dengan kekuatan bacaan filsafat Eropa modern yang tak alang kepalang. Ia hendak meniupkan ruh pencerahan ke dunia arab sebagaimana semangat renaissance membangunkan Eropa dari tidur panjangnya di abad ke-16. Ia, dengan tulisannya, memaklumatkan perang terhadap kaum ekstrimis Arab yang menunggangi agama untuk membunuh. Menarik mengikuti eksperimen mengusung perubahan dengan filsafat. Sebagaimana telah dibuktikan banyak penulis besar, manfaat paling kasat mata dari belajar filsafat adalah kamampuan mengungkapkan pikiran dengan bahasa yang tepat dan kuat.

Turki al-Hamad, sayang belakangan ini jarang muncul, adalah penulis berkebangsaan Saudi Arabia yang menghadirkan tulisan yang renyah seperti kacang goreng. Enak dinikmati. Ciri yang diusungnya adalah reformasi dan transformasi di dunia Arab. Maklum, dunia Arab dan Saudi Arabia pada khususnya, masih butuh ayunan 'seribu langkah' untuk sampai ke pintu reformasi. Kekuatan utamanya terletak pada basis pengetahuan sosial, politik dan world affairs yang bagus. Mengikuti ulasan Turki al-Hamad, seolah mengikuti telenovela yang selalu menyisakan rasa penasaran di setiap ujung tulisan. Kangen menanti tulisan berikutnya.

Menjadi penulis yang menginspirasi, mencerahkan, berdaya rubah, menguasai persoalan dan sekaligus menghibur memang tidak mudah. Tidak banyak penulis yang seperti ini.

Sunday, July 10, 2005

Buah Tidak Jatuh Jauh dari Pohonnya

Apakah ini sebuah rumus? Boleh jadi benar. Kalaupun ada yang menyimpang, barangkali sifatnya pengecualian, ististna'iyat.

Aku menemukan, baik di literatur atau alam nyata, orang-orang besar lahir dari orang besar juga. Al-Farabi anak 'jenderal'. Ibnu Sina anak 'guru besar'. Ibnu Hazm anak orang kaya. Ibnu Rusyd anak 'hakim tinggi'. Ibnu Qayyim al-Jauziyah anak 'rektor'. Tajuddin as-Subki anak 'ketua MA'. Dan seterusnya.

Dalam realitas Indonesia, tokoh-tokoh kita juga terlahir dari tokoh pada zamannya. Hamka anak seorang buya. Gus Dur anak menteri agama dan cucu 'seykh akbar'-nya NU. Gus Mus anak kiai besar. Syihab (Quraish-Alwi) bersaudara anak profesor. Dan masih banyak lagi.

Orang-orang beruntung ini, sejak lahir, punya dua modal untuk besar: keunggulan genetis dan bi'ah, lingkungan yang mendukung. Sementara mereka yang kurang beruntung terlahir dari keluarga tokoh besar, bisa mengganti dua modal mereka itu dengan kerja keras, pantang menyerah. Seperti kata orang arab: Quwwat al-Iradah Tamhu al-I'aqah. Ujung-ujungnya seleksi sejarah tetap bekerja: al-baqa' li al-ashlah. Yang bisa bertahan adalah yang paling kuat, paling ngotot, paling produktif, paling memiliki kualitas positif.

So, kalau kita mau besar dan tidak punya modal keturunan dan lingkungan orang besar, kita meski bekerja setidaknya dua kali lebih keras dari mereka yang memilikinya. Toh ujungnya, Gusti Pengeran menilai seseorang dari karyanya, kan?.

Thursday, July 07, 2005

London yang Tertawa, London yang Menangis

Belum genap 24 jam, tawa itu berubah tangis. London yang Rabu kemarin bersuka cita karena ditetapkan sebagai tuan rumah Olimpiade 2012, Kamis ini, berduka. Enam ledakan bom mungguncang London, memakan nyawa (sementara) 37 orang dan melukai 700 lainnya. Ucapan belasungkawa datang dari mana-mana: dari Amerika, Perancis dan juga Indonesia. Gaung ledakan ini menyisakan ketidakmengertian besar, kegelisahan besar, rasa terancam yang besar.

Dunia kini terasa menjadi semakin tidak aman. Tempat manakah gerangan yang selamat dari ledakan bom yang mematikan ini?. Sejak serangan 11 September 2001 di New York itu, rentetan pemboman silih berganti mengahantam kota demi kota, negara demi negara: Istanbul, Madrid, Casablanca, Riyad, Bali, Jakarta dan (kini) London. Dalam intensitas yang lebih tinggi, Irak dan Palestina adalah cerita kematian dari hari ke hari karena pemboman, penculikan dan serangan bersenjata. Apakah harga nyawa manusia kini semakin murah?

Ketika yang berbicara adalah kesombongan dan dendam kesumat, peperangan dan kematian rupanya tinggal menunggu giliran. Dan inilah dia lakon dunia kita kini; kesombongan negara-negara besar yang bertubrukan dengan dendam kesumat kelompok-kelompok yang dipinggirkan secara kejam. Lihatlah bagaimana Israel dengan pongahnya menduduki tanah Palestina, membangun tembok rasis, mengincar kematian tokoh-tokoh Hamas dan tidak segan-segan menghancur rumah-rumah dengan tank-tank kekarnya karena alasan klise memburu pejuang Palestina. Lihatlah bagaimana Amerika dan sekutunya mengerahkan kekuatan militer besar menyerang Irak dengan alasan memburu senjata pemusnah massal yang sampai hari ini tidak ditemukannya. Berapa nyawa warga sipil Irak yang melayang demi melayani nafsu perang ini? Apakah nyawa orang Irak lebih rendah harganya ketimbang nyawa orang Amerika?

Sementara badan dunia yang bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, menderita cacat sejak kelahirannya. Ia adalah warisan perang dunia kedua yang melanggengkan hegemoni negara-negara pemenang perang. Apa yang disebut hak veto itu adalah instrumen yang melanggengkan ketidakadilan. Lima negara besar pemilik hak veto yang empat diantaranya jumlah penduduknya tidak melebihi penduduk India dapat menganulir keputusan yang disepakati oleh seluruh dunia, betapapun adilnya. Khalis Jalabi, penulis artikel ternama di koran berbahasa Arab, as-Syarq al-Awsath (SA), menyebut bahwa selama sejarah penggunaan hak veto di PBB, yang paling menderita dengan penggunaan hak ini adalah dunia arab. (SA, edisi 9688, 7 Juni 2005).

Ketidakadilan berdimensi politik ini paralel dengan ketimpangan di dunia ekonomi dan kesadaran yang terluka di dunia kebudayaan. Negara-negara kaya (diantaranya yang baru saja bersidang di KTT G8) di hadapan negara-negara miskin tidak ubahnya tuan di era pra feodalisme di hadapan budak-budaknya. Hutang berbunga yang mereka berikan menjadi beban yang terus semakin berat dalam pikulan negara-negara miskin itu. Badan-badan keuangan dunia, tak pelak, lebih membela kepentingan negara-negara pemberi hutang ketimbang negara-negara penghutang. Pil pahit resep IMF yang ditelan Indonesia selama krisis sejak 1998 adalah bukti terdekat yang tak terbantah.

Sementara di ranah kebudayaan ada kesadaran dengan luka menganga yang ditinggalkan oleh laju globalisasi dengan episode utama bertema konsumerisme. Setiap hari kita dibombardir oleh iklan-iklan: mobil baru, hand phone baru, komputer baru, baju baru, kaca mata baru, celana dalam baru. Masyarakat dijejali mimpi tentang hidup yang penuh kemewahan (sebagaimana tema banyak sinetron di Indonesia) di tengah kenyataan keseharian yang dibelit dengan kesusahan dan penderitaan: BBM langka, gizi buruk, sekolah sulit dan seterusnya. Ada luka yang ditinggalkannya. Setiap hari ini menghempaskan milyaran penduduk bumi ke pinggir sejarah dengan hidup keseharian yang mengenaskan. Ia menciptakan barisan orang 'sakit hati' yang terus bertambah.

Apa jadinya kemudian?. Arus balik. Alam bawah sadar 'orang-orang kalah' ini seolah memanggil-manggil, "kalau mereka bisa menimpakan penderitaan kepada kita, kenapa kita tidak bisa berbuat yang sama kepada mereka?". Ideologi kemudian datang mematangkan bahan mentah ini, meciptakan alam imajinernya, menguatkan jaringannya, mengidentifikasi siapa lawan siapa kawan, mengajari bagaimana membikin bom dan seterusnya. Segalanya kemudian menjadi wajar. Kematian justru dirindukan. Ketika api bertemu api, yang menjadi korban tidak hanya yang mengobarkannya, tetapi juga orang-orang di sekelilingnya.

Kelihatannya, lakon ini dalam tahun-tahun ke depan ini belum akan usai. Negara-negara besar: Amerika, Inggris, Perancis, Spanyol dan lain-lain, semakin meneguhkan tekad untuk memerangi 'makhluk halus' yang mereka sebut dengan terorisme. Bisa dipastikan sebagai akibatnya, ledakan demi ledakan bom belum akan selesai juga. Segera setelah ledakan-ledakan di London, pihak keamanan Perancis memperketat penjagaan di stasiun-stasiun kereta api, begitu juga di Amerika. Logika awam mengatakan, kalau sekarang ledakan terjadi di London, boleh jadi besok terjadi di Paris atau di tempat lain. Berapa air mata lagi yang harus tumpah dari lingkaran setan yang tidak habisnya ini?.

Wednesday, July 06, 2005

Dua Wajah

Hari ini ada dua wajah kontras di dua kota besar penting di dunia: ceria di London dan muram di Paris. Hari ini (6/7/2005), Badan Olimpiade Internasional, di Singapura (kenapa tidak di Indonesia, ya?), akhirnya menjatuhkan pilihan pada London sebagai tuan rumah olimpiade 2012. London terpilih setelah menyisihkan tiga calon tuan rumah yang lain: Paris, New York dan Moskow.

London dan Paris, belakangan, memang adalah dua wajah kontras. Menjadi tuan rumah olimpiade 2012 seolah menegaskan tren positif yang terus menanjak di jagat perpolitikan Inggris. Setelah dihadapkan dengan rakyat yang terbelah menyikapi keterlibatan Inggris di perang Irak, Inggris kembali menemukan momen untuk bangkit bersatu. Tony Blair yang menjadi ikon utama dalam rentetan peristiwa ini, kini boleh tersenyum lepas. Setelah terpilih kembali untuk ketiga kalinya di pos perdana menteri; bulan ini ia mendapat giliran memimpin Uni Eropa. Hari ini, di KTT G-8, Inggris menjadi inisiator dua tema utama KTT: penghapusan hutang negara-negara miskin dan penurunan suhu global; dan hari ini juga, penetapan London sebagai tuan rumah Olimpiade 2012 melengkapi seluruh tren positif ini.

Sementara Perancis adalah kontras. Jacques Chiraq mungkin perlu minum obat sakit kepala Bintang Toejoeh hari ini. Setelah terpilih kembali sebagai Presiden Perancis untuk kedua kalinya pada 2002 lalu, Presiden Chiraq bersama Gerhard Schoereder, Kanselir Jerman, memainkan peran penting dalam percaturan dunia. Perancis dan Jerman, dua negara yang menentang perang Irak, adalah dua negara yang menjadi negara pilar dan penggagas berdirinya Uni Eropa. Namun, akhir bulan lalu, Chiraq gagal meyakinkan rakyat Perancis untuk menerima konstitusi Uni Eropa. Suara 'non' mengungguli suara 'oui'. Sikap yang belakangan diamini oleh rakyat Belanda. Chiraq mempertaruhkan kredibilitasnya. Kondisi ini memaksa Chiraq merombak total pemerintahannya. Dominique De Vellipin, mantan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri Perancis itu, ditunjuknya sebagai Perdana Menteri baru. Di tengah citra Chiraq yang sedang menurun itu, kegagalan Paris di ajang perebutan tuan rumah olimpiade 2012 menambah redup wajah Istana Elysee.

Pada ranah yang lebih luas, ada dua fenomena yang menemukan relevansinya dalam konteks ini. Dua negara, Perancis dan Inggris, mambasiskan diri pada nilai-nilai sekularisme. Ini memungkinkan keduanya menyematkan pada dirinya ciri negara yang plural, kosmopolit, terbuka dan menghargai hak-hak asasi manusia. Namun, citra ini, di Perancis, terlukai dengan undang-undang yang melarang menggunakan simbol-simbol agama (di media massa, marak disebut dengan 'pelarangan jilbab') di tempat umum. Gelombang protes yang menambatkan harapan terakhir Presiden Chiraq untuk menahan laju pengesahan undang-undang ini mesti 'gigit jari' karena sang presiden justru mengukuhkannya. Perdana Menteri Jean Pierre Raffarin ketika itu, mesti turun ke kantong-kantong muslim Perancis untuk 'mengambil hati' mereka.

Sementara di jagat Inggris, belum lama terjadi seteru publik soal kunjungan seorang ulama besar yang tinggal di Qatar, Seykh Yusuf al-Qardlawi, ke London. Syekh Qardlawi dituduh mendukung terorisme karena menyatakan bahwa aksi jihad dengan bom bunuh diri oleh pejuang Palestina terhadap orang-orang Israel sebagai sesuatu yang legal secara agama. Tidak kurang, kasus ini sampai masuk ke gedung Parlemen. Pihak penentang meminta Tony Blair untuk melarang Syekh Qardlawi masuk ke Inggris. Namun dengan jawaban yang singkat dan lugas, Tony Blair menyerahkan persoalan ke pihak yang berwenang untuk disikapi secara proporsional. Bahkan Wali Kota London, Ken Livingstone, 'membela' sang Seykh dan balik menyerang pihak-pihak yang mendeskreditkan Seykh Qardlawi yang dilihatnya sebagai menghalangi terjadinya dialog antara Islam dan Barat.

Sikap wali kota London ini bagaikan air es yang mendinginkan sentimen antar agama yang sempat memanas di tanah Eropa; sebuah sentimen yang, di Belanda, memakan korban dengan terbunuhnya seorang produser film, Thei Van Gogh, setelah melansir film kontroversialnya tentang kebudayaan Islam.London dengan bahasa tubuhnya seolah hendak mengatakan bahwa secara faktual ia lebih berhak untuk disebut sebagai "surga"-nya pluralisme. Contoh kecil yang dengan mudah ditangakap misalnya adalah betapa leluasanya tokoh-tokoh islam politik yang jelas-jelas menjadikan Osama Ben Laden sebagai Imam berbicara di layar televisi al-Jazeera menyerang Barat dan memuja Ben Laden. Rupanya kebebasan berpendapat dijamin sebagai sebuah prinsip di negeri Ratu Elizabeth ini.

Disini terlihat betapa holistik dan komprehensif-nya pertimbangan badan-badan olah raga dunia dalam menentukan tuan rumah sebuah even olah raga berskala mondial. Segala sisi dikaji, segala sudut ditelisik: mulai dari kesiapan infrastruktur olah raga-nya, stabilitas politik-keamanan-nya sampai dengan kekayaan budaya-nya.Dus, menjadi tuan ruman even olah raga internasional adalah cerminan dari seberapa maju tingkat peradaban sebuah bangsa.

Di sisi lain, kegairahan calon tuan rumah menjelaskan betapa benefit yang bisa diterima dari menjadi tuan rumah even olah raga internasional amat sangat tinggi. Contoh terdekat adalah betapa Olimpiade Atena 2004 telah membangkitkan Bangsa Yunani untuk meraih capaian besar dalam sejarah modern-nya, sebagaimana pada abada ke-4 sebelum masehi mereka pernah menikmatinya. Siapa yang pernah menyangka tim sepak bola Yunani menjuarai Piala Eropa 2004 di tengah dominasi tim negara-negara besar yang punya sejarah prestasi bagus di even ini?. Namun, gravitasi olimpiade, rupanya salah satu triger yang menggenjot mereka untuk memberikan hadiah terbaik buat bangsanya.

Keuntungan secara ekonomi tentu undebatable. Apalagi di tengah era ketika pertunjukan olah raga telah menjadi tontonan hidup, atraktif, pertaruhan gengsi dan emosional yang mampu memikat milyaran penikmat dari seluruh dunia.Berapa duit ini?. Namun lebih dari itu, even macam ini memberikan kesempatan untuk menampilkan citra, kebudayaan dan kepribadaian sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain. Kredit poin politik juga melekat disitu.Maka tidak heran kalau calon tuan rumah akan all out memperjuangkan berkasnya bisa lolos dan diterima. Disini kadang, aroma perseteruan politik menjadi kental. Semisal hubungan tegang Maroko-Afrika Selatan selepas menjadi rival dalam perebutan menjadi tuan rumah foot ball mondial 2010.

Singapura, 6/7/2005, sudah cukup bangga menjadi tempat pengumumam tuan rumah Olimpiade 2012. Mestinya kita iri sembari menyadari betapa masih jauhnya capaian olah raga, ekonomi, politik, kebudayaan, singkatnya, peradaban kita dari layak untuk menjadi penyelenggaran even-even olah raga berskala internasional. Kapan iya, Indonesia menjadi tuan rumah olimpiade atau piala dunia (sepak bola)?.

Tuesday, July 05, 2005

Agama

Dr. Abdullah Darraz (1894-1958 M) menulis tentang agama dalam buku yang diberinya judul: ad-Din Buhuts Mumahhidah li Dirasat Tarikh al-Adyan. Buku ini kalau mengikut slogan TEMPO, 'enak dibaca dan perlu'.

Darraz berhasil menulis soal-soal mendalam dengan bahasa yang mudah dinikmati. Beliau berhasil memainkan multi peran dalam buku ini: pemikir, da'i, guru dan penghibur.

Pengalamannya belajar lama di Universitas Sorbonne Perancis memberinya keluasan penguasaan literatur barat. Penguasaan Bahasa Perancisnya yang bagus memungkinkannya membaca karya-karya sarjana barat tentang agama. Nama-nama semacam Emanuel Kant, Auguste Comte, Emile Durkheim dan lain-lain, tidak lagi asing baginya.

Sebagaimana akar keluarga, lingkungan dan negara asalnya (Mesir), memungkinkannya menjadi sosok yang kuat dan tidak mudah silau dengan gemerlap peradaban barat. Pendidikan agama yang didapatnya sejak kecil sampai lulus dari Universitas al-Azhar memberinya bekal yang cukup untuk berdialog dengan pemikiran dan peradaban apapun.

Dua latar belakang pendidikan inilah yang terlihat sangat kuat dipamerkan buku ad-Din. Paparan Darraz dalam buku ini terasa kuat dan memikat. Kata 'mumahhidah' (pengantar) yang diintrodusirnya dalam judul buku betul-betul dibuktikannya sampai akhir buku. Untuk tema sebesar agama, pengantar setebal 259 halaman terasa wajar diberikan.

Intinya, Darraz hendak mengatakan bahwa agama memiliki akar yang dalam dan jauh dalam sejarah umat manusia, sejak ribuan tahun sebelum masehi. Agama menghunjam kuat dalam fitrah manusia. Agama terus lahir dalam komunitas manusia dari yang paling primitif hingga yang paling canggih. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menafikan agama atau 'membunuh' Tuhan, menurutnya, selalu berakhir dengan kegagalan.

Agama lahir dari pertanyaan paling mendasar soal hidup; soal manusia, dari mana ia datang dan kemana ia bakal kembali. Agama lahir dari ketakjuban tak habis-habis terhadap ketertataan alam mikro (dalam diri manusia) dan makro (luar diri manusia) yang tidak mungkin terjadi tanpa ada yang mengatur. Agama lahir dari perburuan ujung hakikat segala sesuatu. Manusia mencarinya melalui filsafat. Manusia mencarinya melalui sihir. Tetapi manusia mendapatkan jawaban kepuasan pada agama.

Agama adalah keyakinan pada sesuatu yang maha agung, yang maha perkasa, yang maha mengetahui, yang maha suci, yang maha merawat alam ini dengan penuh perhatian, yang maha esa dan oleh karena itu, Dialah satu-satunya yang berhak disembah. Untuk itulah ritus-ritus ada. Bahkan, para penyembah batu pun sesungguhnya bukan menyembah batu kasat mata yang tidak mengerti apa-apa. Disinilah inti agama-agama manusia. Disinilah wilayah pencariannya dengan tingkat benar salah yang berbeda-beda.

Ini adalah milik bersama (qaasim musytarak) semua agama. Para pemeluk agama dengan suka rela tunduk kepada (pemilik) kekuatan yang tiada tandingnya. Kekuatan yang memaksa segala sesuatu untuk tunduk-pasrah, suka atau tidak (QS: ar-Ra’d, 15). Ketundukan suka rela ini melahirkan gerakan jiwa untuk mengagungkan, mensucikan, menyembah dan mengasyiki sang pemilik kekuatan dalam campuran rasa antara harapan dan kecemasan, antara senang dan takut di hadapan perputaran segala peristiwa. Inilah dia kondisi jiwa orang beragama.

Agama dengan demikian adalah pemenuhan terhadap tiga potensialitas manusia: potensi nalar (quwwat al-aql), potensi rasa (quwwat al-wijdan) dan potensi kehendak (quwwat al-iradah). Manusia membutuhkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mendalamnya (ultimate questions) soal sumber kehidupan; ia membutuhkan pelabuhan bagi rasa cinta, rindu, syukur, malu, harap dst yang bersemayam di lubuh hatinya; ia membutuhkan sandaran kuat untuk menghantam keputusasaan yang kadang menderanya. Agama menyediakan fungsi-fungsi ini. Oleh karena itu, kata Darraz, kalau ada yang mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan yang berfikir’ atau ‘hewan yang memilik watak sosial’, maka ia juga bisa disebut dengan ‘hewan yang beragama dengan tuntutan fitrahnya (hayawan mutadayyin bi fithratih)’

Bagaikan akar, agama menghunjam ke dasar terdalam dari identitas manusia. Kalau filsafat berujung pada pengetahuan, agama berujung pada iman. Kalau filsafat adalah refresentasi dari kata "tahu", maka iman memanifestasikan "rasa". Dalam jiwa, filsafat selesai sebagai pengetahuan, tetapi iman merasuk menjadi apa yang dirasakan. Alangkah jauh beda antara tahu tentang lapar dan betul-betul merasakan kelaparan.

Oleh karena itu, pertautan antara orang beragama dengan sumber segala hakikat (akhir perburuan agama dan filsafat) amat sangat kuat. Jauh lebih kuat dari yang dihasilkan oleh filsafat. Ini melahirkan komitmen yang kuat pada diri orang beragama untuk terikat dengan tuntutan kebenaran, pemeliharaan moralitas dan penjagaan kohesifitas antar sesama. Dan ini adalah jaminan kuat bagi munculnya tatanan sosial yang kokoh dan tidak mudah berai oleh guncangan dalam bentuk apapun. Sebab yang mengikat antar individu dalam masyarakat adalah ikatan ruhani.

Kata Darraz, "agama bagi masyarakat adalah sebagaimana hati bagi badan". Agama memberikan identitas sekaligus gerak hidup (hayawiyah) yang sangat kuat bagi sebuah komunitas sosial. Ini bukan hanya klaim kaum agamawan. Tetapi saintis, panglima perang dan pemimpin negara pun mengafirmasinya. Mengutip mantan Presiden Amerika, Wilson, tulis Darraz, "selama peradaban kita tidak diisi dengan spiritualitas, ia tidak akan mampu bertahan hanya dengan materialismenya. Ia tidak akan selamat kecuali jika ruh agama mengalir dalam tubuhnya…". Dalam konteks ini, Abdullah Darraz, membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa nasionalisme yang tidak berpijak pada dataran moral dan agama yang kuat hanya sedang menunggu keruntuhannya.

Oleh karena agama adalah ‘hati’-nya komunitas manusia, maka sejarah agama adalah sejarah manusia itu sendiri. Para pakar mencoba untuk menjelaskan fenomena agama; dari mana munculnya dan kemana arah ujungnya. Disini lagi-lagi terlihat kemampuan Darraz untuk mengeksplorasi apa yang para pakar (sekaligus mazhabnya masing-masing) pernah teorikan tentang agama. Untuk menyebut sejumlah nama, di sini ada, Spencer, Tylor, Frazer, Durkheim (untuk teori evolusi dari politeisme ke monoteisme); Lang, Sheroeder, Brockelman, La Roy, Quatre Fages, Schmidt (untuk teori keaslian monoteisme). Bersamaan dengan bercabang-nya mazhab-mazhab para pakar tentang agama ini, Darraz tidak mencukupkan diri hanya dengan pemaparan, tetapi lebih dari itu kritik dan pikiran alternatif.

Itulah yang dilakukannya, ketika di pasal terakhir dari bukunya ini, Abdullah Darraz memberikan tilikan komprehensif yang dimaksudkannya sebagai alternatif dari pendapat para pakar yang sudah ditampilkan dan dikritisinya. Yang sangat menarik, ide-nya ini dirakitnya dari ayat-ayat al-Qur’an yang –meskipun tidak dikatakannya—menegaskan bahwa kita telah dicukupkan oleh al-Qur’an dari pendapat-pendapat para pakar itu, asal kita bisa membaca dan memahaminya.

Kesalahan terbesar para penganut mazhab-mazhab ini adalah ketika mereka mengabsolutkan pendapatnya masing-masing. Padahal hakikatnya, apa yang mereka tempuh adalah salah satu pintu menuju Tuhan. Oleh karena itu, dua premis yang ditawarkan Darraz adalah: 1. Bahwa tanda-tanda (ayaat) ketuhanan tersebar dalam segala sesuatu. 2. Bahwa setiap orang atau komunitas dapat menempuh jalannya sendiri dengan mengambil sebagian dari tanda-tanda tersebut untuk sampai kepada Tuhan. Dari fenomena keserbanekaan tanda dan cara inilah, al-Qur'an merangkum (bahkan menambah unsur baru) pokok-pokok pikiran yang dimunculkan oleh segala mazhab tentang ketuhanan yang pernah muncul dalam sejarah agama.

Setelah menampilkan ayat demi ayat yang menunjukkan keserbanekaan ini, Darraz berkesimpulan: "Demikianlah, al-Qur'an mempertemukan pendapat dan cara pandang para pakar yang berserak dan terpecah-pecah itu. Oleh karena itu, intelektual yang jujur tidak bakal kuasa selain mengakui bahwa ini adalah bukti baru betapa al-Qur'an bukanlah refleksi dari kejiwaan seseorang, bukan cermin dari cara berfikir sekelompok orang, bukan dokumen sejarah era tertentu, tetapi ia adalah kitab dan referensi kemanusiaan yang terbuka. Betatapapun berjaraknya tempat dan waktu; betapapun pluralnya ras, warna kulit dan bahasa; betapapun berbedanya pandangan dan kecenderungan, setiap pencari kebenaran akan menemukan di dalam al-Qur'an, jalan terang benderang yang menunjukinya kepada Allah". (h 235).

Di Lahore, Pakistan, tanggal 16 Jumad at-Tsani 1377 H/Januari 1958 M, di tengah berlangsungnya seminar internasional tentang agama-agama, secara mengejutkan, Dr. Abdullah Darraz menghembuskan nafas terakhir dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa, tetap dalam keyakinan bahwa Islam berada di garda depan dalam seruannya kepada pemeluk agama-agama untuk bergandengan tangan menegakkan keadilan, keamanan dan perdamaian dunia.

a cote de la mairie de tetouan Posted by Picasa

en face de la wilaya de tetouan

Monday, July 04, 2005

Menjadi Ilmuwan

Bertemu dengan willdurant.com mengingatkan aku dengan tahun pertamaku belajar di Akidah Filsafat F. Ushuluddin Tetouan (2001). Membolak-bolak balik buku-buku filsafat di tahun itu, mengantarkan aku ke buku Qishshat al-Falsafah, versi arab dari The Story of Philosophy karya Will Durant. Belakangan, di Perpustakaan Umum Tetouan, aku tertawan dengan buku besar berjilid-jilid: Qishshat al-Hadlarah yang juga versi arab dari The Story of Civilization karya tokoh filsafat Amerika ini. Belakangan aku baru tahu, kalau buku terakhir ini ditulisnya selama 50 tahun.

Di situsnya, Will Durant bercerita tentang keharusan kita untuk berkenalan dengan sebanyak mungkin peradaban, sebanyak mungkin ilmuwan dan sebanyak mungkin pengetahuan. Katanya, seseorang dibentuk oleh apa yang dia baca, dengan siapa dia berkenalan dan ke belahan bumi mana ia sempat berkunjung. Karya tokoh ini, mengingatkan kita akan kegigihan dan --pada saat yang sama-- kenikmatan menjadi seorang ilmuwan. Buku yang ditulis dengan penuh pengorbanan dan dierami dalam waktu lama, selalu saja menjadi karya abadi.

Bukankah kitab Muwaththa'-nya Imam Malik yang magnum opus-nya madzhab maliki itu ditulis selama 40 tahun? Bukankah Ibnu Sina, filosof Islam, pengarang setidaknya 276 buku itu, setiap malam begadang untuk belajar dan menulis buku? Bukankah Plato, guru Aristoteles itu, mengembara 28 tahun ke pusat-pusat peradaban di zamannya untuk mencari ilmu? Masih banyak deretan yang singkatnya hendak mengatakan bahwa untuk karya besar, kita mesti menyediakan nafas, kengototan, kesabaran dan ketekunan yang besar pula. Kecuali kalau kita hendak menjadi ilmuwan instan-karbitan yang ujung-ujungnya, mencari ilmu hanya untuk kepentingan perut semata!.

Kotak Ajaib

Salam untuk semua...

Sudah lama orang berbicara tentang posmo. Sebuah gambaran dunia pasca modern yang penuh warna: cepat, simulatif, virtual dan serba ada. Yasraf A Piliang menggambarkan fenomena ini dengan sangat baik dalam bukunya: Sebuah Dunia yang Dilipat. Dunia kemudian bisa dilipat hanya seukuran layar televisi. Untuk mewakili kelengkapan, kotak komputer yang tersambung dengan dunia maya boleh jadi adalah wakil terbaik. Kalau tak percaya, klik saja google.com dan anda bisa menemukan apa saja yang anda cari.

Belum lama, Thomas L. Friedman penulis kolom beken peraih tiga kali penghargaan Pulitzer itu, meluncurkan bukunya: The World is Flat. Ia menegaskan bahwa saat ini kita sedang hidup di gelombang ketiga globalisasi. Kalau di gelombang pertama pemainnya adalah negara; gelombang kedua adalah perusahaan multinasional, maka pada gelombang ketiga, aktor utamanya adalah individu-individu. Aplikasi sistem kerja yang tersambung dalam jaringan internet memungkinkan orang untuk berkerjasama lintas batas. Maka penulis ini mengingatkan orang Amerika bahwa kalau anda tidak waspada boleh jadi ke depan pekerjaan anda diserobot orang Cina atau India yang mulai menunjukkan mobilitas yang luar biasa.

So, konsep individu adalah pusat betul-betul mendapat tempat di dunia ini. Setiap orang bebas menebar paham, prinsip, nilai atau bahkan barang dagangan untuk bertarung dalam kompetisi terbuka yang tanpa batas. Siapkah kita menghadapinya dengan isi kepala, keberanian dan tanggung jawab?. Untuk itulah, kita --atau pasnya: saya-- perlu belajar. ayo kita berbagi disini.

Salam persahabatan,

Dedy W. Sanusi